Kedaluarsa


 Ada hal-hal yang tak kumengerti dari Dira, istriku itu. Dira kerap menyimpan barang-barang kecil dalam stoples lalu menyimpannya di dalam lemari khusus. Lemari yang terbuat dari aklirik yang kupikir akan digunakannya untuk menyimpkan koleksi bukunya. Sering aku bertanya mengenai hal ini, tapi Dira hanya tersenyum dan mengatakan sesuatu dalam stoples itu akan berguna suatu saat nanti. Barangkali, lima sampai sepuluh tahun lagi, tambahnya.
Aku dan Dira sudah berpacaran dua tahun sebelum kami memutuskan menikah lima tahun lalu. Setelah menikah, kami pindah ke sebuah rumah kontarakkan, aku meminta Dira tak membawa lemari aklirik itu. Rumah kami kecil, memasukkan lemari itu hanya akan membuat rumah menjadi sesak. Bawa satu stoples saja, lainnya tinggalkan di rumah orangtuamu, kataku waktu itu. Namun, Dira bersikeras membawa lemari itu. Sebagai gantinya, Dira meninggalkan koleksi bukunya di rumah orangtuanya dan hanya membawa beberapa buku karangan Iwan Simatupang dan Y.B Mangunwijaya.
Melihatnya bersikeras membawa lemari itu dalam rumah kami, membuatku memutuskan tidak memintanya meninggalkan lemari itu dan bertanya lagi arti stoples itu baginya. Jika Dira bersikeras, artinya barang itu sangat penting baginya dan aku tidak memiliki alasan untuk mengenyahkan sesuatu yang sangat penting bagi istriku.
Hubungan kami mengalami pasang surut, layaknya hubungan dua manusia yang kerap disinggahi pertengkaran lalu berbaikan, kemudian menjalani kehidupan yang lebih baik lagi. Ya, sebuah hubungan yang mengalami pertengkaran memiliki dua sisi, menjadi lebih baik atau lebih buruk. Ketika dua orang saling mencintai berhasil melewati sebuah masalah, ikatan mereka akan menjadi lebih kuat.
Seperti koin yang memiliki dua sisi, masalah yang melanda rumah tangga kami membuat hubungan kami berantakan. Selama ini, Aku dan Dira selalu menerapkan ajaran repok dalam rumah tangga kami. “Kalau ada masalah, biasakan repok. Rep artinya diam dan pok artinya bicara. Ketika istrimu bicara, kamu harus diam dan dengarkan. Setelah itu, baru kamu bicara dan istrimu mendengarkan,” nasihat bapak di hari pernikahan kami.  
Malam itu, emosi kami membludak. Aku dan Dira beradu argumen, tak ada yang mau diam dan mendengarkan. Nada bicara kami mulai meninggi dan berakhir dengan kepergianku dari rumah. Sebelum pergi, dari celah pintu, aku melihat Dira duduk di atas lantai, kedua tangannya berada di atas lutut  dan menenggelamkan wajahnya di sela kedua tangannya. Sebagian diriku ingin berbalik dan memeluknya, sebagian lain menarikku untuk pergi meninggalkan rumah. Dan, aku menuruti sebagian diriku yang menarikku pergi meninggalkan rumah kami.
# # #
Dira menarikku yang berdiri tepat di depan pintu. Aku ragu melangkah, aku tak ingin ada keributan lagi. Dia hanya tersenyum, menarik lenganku dan memintaku duduk. Dia pergi meninggalkanku dan kembali  ke hadapaanku membawa secangkir kopi hitam. Aku menyeruput kopi hitam dan melihat punggungnya menjauh, memasuki kamar kami.
“Kamu ingat ini?” tanyanya sambil memperlihatkan barang yang diambilnya dalam stoples. Sebuah bunga kertas.
Aku mengangguk. Aku ingat betul hari itu, hari ketika Dira berulang tahun dan aku tak mengantongi uang sepeser pun. Aku berpura-pura meminta Dira membuatkan kopi dan membuat bunga kertas  menggunakan kertas timah dari  bungkus rokokku. “Maaf, akan kuganti yang lebih baik jika punya uang nanti,” kataku. Saat itu, Dira memelukku. Dia tak mengeluh dan tak sedikitpun mengusik hadiah ulang tahunnya yang buruk itu.
“Atau ini?” setumpuk karcis timezone yang enggan kami tukarkan dengan hadiah. “Dan ini?” sebuah  ponsel tua yang kujual agar kami bisa bertahan hidup saat aku dipecat dari tempatku bekerja.
“Ponsel itu?” tanyaku tergugu.
“Aku menebusnya dan sengaja kusimpan,” katanya. “Barangkali, cinta memiliki masa dan akan kedaluarsa suatu saat nanti. Ada yang membuangnya dan menggantikannya dengan yang baru. Ada yang bertahan dan berusaha menikmatinya, meski mereka tahu, hal itu tak baik bagi mereka. Kita . . . bukan keduanya. Kita hanya perlu memperbaruinya.”
Dira menarik lenganku, menuju kamar kami. Dia membuka lemari aklirik itu, memperlihatkan stoples-stoples yang terususn rapi di dalamnya. “Jika cinta ibarat roti, kita tak perlu takut akan kedaluarsa suatu saat nanti. Kita punya adonan biang yang tersimpan rapi dalam stoples ini. Kita hanya perlu membukanya dan menaburkannya ke hati kita.”
“Ya, kita bukan keduanya. Kita punya adonan biang dan kita memiliki satu sama lain,” kataku sambil memeluk Dira.









Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar