Suara dentum dari bom jatuh terdengar jelas
dari kejauhan, mungkin sekitar 5-10 km dari tempat tinggalku. Dari balik
jendela, tepat di mana kursi dan meja berada di sisinya, tempatku duduk,
kulihat orang-orang berlari. Awalnya hanya hitungan jari, lalu menggunung
hingga tak dapat lagi kuhitung. Seorang perempuan berlari sambil memeluk
anaknya, seorang pemuda mengendong laki-laki tua, seorang pemuda menarik seekor
kambing dengan kuat-kambing itu tak mau berjalan sehingga adu tarik pun terjadi
di antara keduanya-dan wajah-wajah ketakutan pun menjadi pemandangan yang
kusaksikan dari kaca rumahku.
Aku mengalihkan pandangan ke arah istriku. Melihat
ketakutan dan kecemasan dari wajah-wajah di luar sana membuat pagiku terasa
berat. Nada sedang berdiri di depan oven, menunggu kue yang dibuatnya matang. Kue
bolu pandan kesukaanku. Ting... ting.. suara dari oven yang menandakan bolu
sudah matang. Nada mengambil sarung tangan yang tergantung di tembok, sebelah
kanan tubuhnya lalu mengeluarkan seloyang bolu yang mengembang.
Harum bolu pandan memenuhi rumah kami. Nada
meletakkan bolu itu di sebuah piring. Mengiris beberapa bagian agar mudah
dimakan. Dia berjalan ke arahku, membawa sepiring bolu pandan yang setengahnya sudah
diiris tipis-tipis. “Tunggu, kopimu belum jadi. Tunggu sebentar lagi,” katanya
setelah meletakkan sepiring bolu di hadapanku. Aku tak sabar ingin
mencicipinya, baru saja mengerakkan tanganku untuk mencomot, Nada berbalik dan
mengayunkan telunjukkan ke kiri dan kanan. Jangan coba-coba mengambil,
barangkali itu pesannya. Aku pun mengurungkan niat dan menunggunya datang
membawa kopi.
Segelas kopi hitam dan segelas teh melati
diletakkannya di meja. Aku menatap wajahnya, segaris senyum hadir dari
bibirnya, sebuah isyarat, kue berwarna hijau muda itu boleh dimakan. Suara teriakan
tak henti-hentinya terdengar. Aku dan Nada serempak memalingkan wajah ke arah
jendela, puluhan orang berlari, sebagian luka-luka.
“Kamu tak ingin berlari, menyelamatkan diri?”
tanyaku.
“Aku tidak berpikir bisa membuat bolu dan
menyeduh kopi sambil berlari. Lalu kita menikmati makanan ini sambil
terengah-engah. Bukan hal menyenangkan,” jawabnya.
Nada selalu punya jawaban yang menarik. Dia tidak
terbiasa mengungkapkan perasaannya melalui kata-kata. Dia membalutnya dengan
sangat baik. Hanya orang-orang yang sudah mengenalnya cukup lama untuk tahu
arah pembicaraannya dan aku, cukup lama mengenalnya. Intinya sungguh sederhana,
Nada tidak ingin berlari, menyelamatkan diri, dia hanya menikmati sepiring bolu
pandan dan secangkir teh melati bersamaku.
“Jika tidak sekarang, kita akan mati. Sebentar
lagi pesawat jet tempur akan menjatuhkan bom ke daerah ini. Tidak kah kamu
takut mati?”
“Jika setelah mati aku masih bisa membuat
bolu dan membuatkanmu kopi, kupikir aku memilih mati. Di sana, apa ada pasar
malam yah? Aku rindu jalan-jalan di pasar malam.”
“Bukan pasar malam tapi wahana bermain
modern.”
“Itu kan judul buku dari penulis kesukaanmu.
Bukan Pasar Malam, siapa pengarangnya?”
“Pramoedya Ananta Toer.”
“iya. . . iya. Sudah jangan bahas
buku.”
“Bukan. Maksudku, mungkin di sana tidak ada
lagi pasar malam tapi wahana modern. Tidak ada kasta, tidak ada lagi status
sosial, tidak ada kaya dan miskin. Semua berhak
menikmati permainan. Bukankah itu menyenangkan.”
Aku mengambil irisan bolu untuk kali ketiga
dan meneguk kopiku, isinya sudah berkurang setengah. “Paling suka wahana apa?
pasti bianglala?
“Bianglala dan Pak Maman.”
Aku bertemu pak Maman saat mengajak Nada ke
pasar malam. Laki-laki yang kutaksir berumur 50-an itu adalah kepala bagian
pemeliharaan seluruh wahana bermain di pasar itu. Aku mengenalnya secara tak
sengaja. Saat itu, bianglala macet, dia memintaku menautkan baut-baut yang
longgar. Dia sibuk menuangkan pelumas ke beberapa bagian. Bianglala pun kembali
berputar. Sebagai rasa terima kasihnya, dia mengizinkanku menikmati seluruh
permainan secara gratis. Aku menepis tawaran itu dan meminta satu hal kepadanya
dan dia menyanggupinya.
Beberapa bulan setelahnya, aku mengajak Nada
ke pasar malam. Pukul 22.00 WIB, seluruh arena sudah gelap. Yang tersisa hanya
petugas dan penjual di pasar malam itu. Nada tampak heran, aku tak menghiraukan
guratan kecemasan di wajahnya lalu menarik tangannya menuju bianglala. Pak
Maman sudah beridiri di sana. Aku mengajak Nada menaiki bianglala. Laki-laki
itu pun menghidupkan wahana itu. Tepat
di tengah, bianglala terhenti. Lampu kerlap-kerlip pun menyala, menerangi
seluruh area pasar malam itu.
Ya, tawaran yang pak Maman berikan kepadaku
kuganti dengan permintaan ini.
“Kamu pasti suka tong setan dan membenci
atraksi manusia unik,” tambahnya.
“Ya. Memihat dua pemotor berputar-putar di dalam
tong cukup menyenangkan. Kalau aku, yang ada pusing dan akhirnya nabrak. Kalau manusia
aneh, itu bukan tontonan, itu penghinaan. Tidak ada yang aneh dan mereka tidak
layak dijadikan sebagai mesin pencari uang.”
“Kopimu habis, sini kubuatkan lagi.” Nada
mengambil gelas kopiku yang kosong dan berjalan menuju dapur.
Sebuah bom jatuh menimpa atap rumah kami. Memporak-porandakan rumah dan membuatnya menjadi puing-puing. Aku
melihat Nada tertimpa reruntuhan. Tanganku mencoba menggapainya, namun tubuhku
tak bisa bergerak. Darah menetes dari kepalaku, mengalir melewati wajahku dan
jatuh di tanganku. Pandanganku memudar dan semua menjadi gelap.
0 comments:
Posting Komentar