Dia diberikan semacam penglihatan. Kemampuan melihat hal-hal yang tak kasat mata. Kelebihan yang seringkali membuatnya dianggap aneh oleh banyak orang. Kemampuan yang dia kutuki, dia ratapi, dia enyahkan namun tak juga menghilang. Kemampuan yang membuatnya dijauhi teman sebayanya. Kesendirian yang memuakkan.
Sejak kecil, dia berteman sepi. Sepi yang tak benar-benar sunyi karena di sekelilingnya, selalu ada yang menemani.
Riuh tak berwujud, tawa yang hampa, obrolan-obrolan yang sunyi. 
Duduk bersama teman-teman, mengobrol ngalor-ngidul, tertawa terbahak-bahak hingga meneteskan air mata, tentu hal yang menyenangkan. Apa jadinya jika kamu tertawa terbahak-bahak hingga meneteskan air mata, namun orang-orang melihatmu sendiri, barangkali, mereka menganggapmu gila. Itu yang dia rasakan.
“Terkadang, aku ingin membuangnya, menutup rapat-rapat agar tak mengganggu hidupku lagi,” katanya tanpa menoleh, menatap langit sore yang berwarna serupa buah jeruk yang matang.


“Santai aja. Kalo nggak kuat, bilang. Nggak perlu lambai-lambai tangan, nggak ada kamera. Ini pendakian, bukan uji nyali,” kata Indra-kepala suku- mengingatkan teman-teman.
Di antara kami bersepuluh, hanya Indra dan Irsyad yang sering mendaki, mereka masuk dalam katagori pertama. Katagori kedua, pernah satu-dua-tiga kali mendaki gunung dan katagori ketiga, pendatang baru dalam kancah dunia pendakian. (katagori suka-suka)
Aku masuk dalam katagori yang kedua, tak benar-benar baru tetapi tak benar-benar mampu. Lari pagi, untuk menambah kekuatan fisik saat mendaki hanya wacana semata. Ya, aku tidur pagi hari dan tak mungkin memaksakan diri lari pagi. Tepatnya, malas lari pagi. Sebenarnya, aku bisa mensiasatinya dengan lari pada sore hari. Tapi, sore hari dan secangkir kopi adalah perpaduan yang istimewa. Kau tentu tak mau melewatkannya hanya untuk lari dan menguras tenaga.


Kita –manusia- membuat cerita dan mewariskannya. Apa yang kamu lakukan hari ini, tak benar-benar untuk dirimu saja, kamu bisa mengisahkannya kepada anak dan cucumu kelak. Maka buatlah hidupmu menarik, tulislah cerita di setiap langkah kakimu, agar warisanmu dapat bermakna bagi keluargamu, bagi orang lain di sekelilingmu.
Nai sering mengkritikku mengenai hal ini. Mengenai hidupku yang selalu berkutat dengan pekerjaan dan kopi-rutinitas yang itu-itu saja. Pada kali ketiga kami pergi bersama, dia langsung tahu, aku pria yang monoton. Tak perlu hal besar untuk mengetahui hal itu. Cukup memperhatikan bagaimana aku memilih tempat memarkir motor dan memesan menu. Aku selalu memarkir motor di tempat biasa, memesan menu yang biasa kupesan tanpa pernah mencoba menu lain dan membicarakan kehidupanku yang biasa-biasa saja. Beruntungnya, Nai tak keberatan dengan semua yang biasa-biasa dari diriku.
Kaku dan membosankan, katanya. Tentram dan damai, koreksiku.
unpredictable dan tukang cari masalah, kataku.  Pemimpi dan pengejar kebahagiaan, koreksinya.