Jika
mencintai adalah sebuah sandiwara, kita memainkan peran dengan cara yang buruk
Masing-masing
dari kita adalah protagonis dalam hidup kita. Seperti kau tahu, protagonis merupakan
sebutan bagi tokoh utama dalam sebuah cerita. Tak melulu baik, tak melulu
jahat. Protagonis bisa saja menjelma malaikat baik hati atau menjelma penjahat
paling keji. Masing-masing kita menentukan peran yang kita pilih. Hidup tentu
tak membiarkan kita sesuka hati merencanakan cerita seperti yang kita mau. Kamu
mengenal harapan dan tak semua mewujud menjadi kenyataan.
Kita
seringkali membunuh satu harap untuk menghidupkan harap lainnya.
Kita memilih
peran sepasang sepi. Dipertemukan semesta kemudian jatuh cinta. Kupikir ini
premis dari jalan cerita kita.
Lalu kita
menyusun jalan cerita yang indah. Susun-menyusun harap sehingga tercipta plot
yang indah dan tentu saja bahagia. Harapan kita telah terbang menuju langit dan
kita sengaja melupa bahwa kaki-kaki kita masih menapak di bumi. Mengesampingkan
luka-luka dan kegagalan. Ya, siapa juga yang ingin merencanakan sebuah
kesedihan dan kehilangan. Kita menyerahkan itu pada hidup, biar dia yang
memberikan kejutan-kejutan kepada kita. Dan kita selalu tahu, luka dan kesedihan
selalu datang lebih banyak dari bahagia.
Sejak awal
sudah kukatakan, kita berperan sangat buruk. Sepasang sepi sebaiknya hanya
saling mengisi dan berakhir pada waktu tertentu. Kita bahkan lupa menyepakati
bagian itu. Kita lalu terjebak dalam peran yang kita mainkan. Menganggap ini
kenyataan dan yang paling menyedihkan, kita mulai bertanya-tanya dan
mendefinisikan kedekatan ini sebagai sebuah cinta yang ditakdirkan tuhan.
Ah, betapa
naifnya kita. Aku barangkali yang terlalu percaya bahwa ini memang cerita yang
sudah ditentukan bagi kita. Aku lepas kendali, kamu lepas kendali, dan kita
terjebak dalam permainan yang kita ciptakan. Lalu suatu hari kamu menyadari,
ini hanya cerita tentang sepasang sepi yang saling mengisi waktu luang dan
ketika kesepian tak lagi menjadi beban yang menghantui malam-malam yang panjang,
cerita ini sebaiknya diakhiri.
Aku telat
menyadari dan terus saja memainkan peran ini. Bodohnya membiarkan diri tetap
terluka oleh ilusi-ilusi bahagia yang pelan-pelan telah menancapkan pisau di
hati. Kamu beranjak pergi dan mengakhiri cerita dengan tiba-tiba. Aku masih
terjebak di dalamnya dan tak tahu bagaimana menerima ending yang tak
kuinginkan, berusaha mengubahnya menjadi
akhir bahagia.
Tapi, aku
tahu, masing-masing dari kita adalah protagonis dalam hidup kita. Kamu memilih
peran mencari dan berjalan. Aku memilih peran menunggu dan berharap kamu
datang. Sayangnya, peran yang kamu mainkan tak mengarah kepadaku.
Jika suatu
hari kamu datang dan ingin memainkan peran sepasang kesepian lagi, mungkin ada baiknya
kita membuat kesepakatan-kesepatan agar peran yang kita mainkan tak lagi
menyakiti dan melukai kita.