Kenny merangsek masuk ke kamarku seperti seorang perampok yang berusaha
menggasak rumah incarannya, membuka lemari pakaianku, masuk ke kamar mandi,
mengacak-acak tumpukan baju yang belum sempat kumasukkan ke dalam lemari, dan
berakhir dengan mengeluarkan baju-baju kotor dalam keranjang yang kuletakkan di
belakang pintu. Dia mengambil handuk kecil, membebatkannya kuat-kuat di
tanganku. Aku meringis.
Jadi, seperti ini rasanya sakit. Bahkan, sayatan silet yang tipis saja bisa
membuatku merasakan sakit. Handuk putih yang dibebatkan di tanganku mulai
berwarna merah. Titik-titik kecil perlahan menjadi bulatan besar. Aku menyukai
warnanya, sangat kontras. Aku tak tahu harus bereaksi apa, menangiskah,
marahkah, dan yang kulakukan hanya melihat Kenny memasukkan barang-barangku ke
dalam tas. Dia mencari beberapa barang, memasukannya lagi ke dalam tas.
“Kita ke rumah sakit,” katanya. Dia berdiri di hadapanku yang masih
duduk di ujung kasur memerhatikan handuk putih mulai memerah. “Bim, kita ke rumah
sakit sekarang,” tegasnya, jelas ini bukan ajakan, bukan permintaan, ini
perintah. Aku memerhatikan kedua kakinya menurun, mengambil posisi jongkok,
wajahnya tepat di depan wajahku. Hanya perlu beberapa detik dia menatapku dan
sebuah tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Aku memerhatikan wajahnya dan satu
tamparan lagi mendarat di pipi kananku.
“Luka kecil ini, aku bisa mengurusnya sendiri. Tidak perlu ke dokter,”
jawabku.
“Kalau luka itu, gue bisa urus, tapi otak lu, gue nggak bisa. Kita ke
psikiater sekarang,”ucapnya kemudian berdiri lagi, membuatku hanya mampu
melihat kakinya.
“Aku nggak butuh, Ken.”
“Semua orang di posisi lo juga bilangnya nggak butuh. Nggak gila, nggak
stress, nggak perlu berobat, tau-tau bunuh diri. Bangsat! Kalau lo mau mati,
jangan begini caranya. Pergi jauh sana, biar gue nggak perlu liat lo mati.”
Ken membenamkan wajahnya di kakiku, isak itu berubah menjadi tangisan. Aku
mengelus kepalanya, isyarat permintaan maaf entah untuk apa. “Kalau diganti masak
aja, gimana? aku belum makan dari kemarin,” kataku.
Ken mengangkat kepalanya, menyapu air matanya dengan ujung kaus. Berdiri
meninggalkanku dan kembali membawa gayung berisi air, betadine, dan perban. Menggunting
perban itu beberapa potong, lalu memasukkan gunting ke dalam sakunya. Ken
rupanya takut aku bermain dengan benda itu. Dia melepas handuk di tanganku,
membersihkan luka. “Gue bisa urus sisanya, lo masak aja. Gue laper,” pintaku sambil
mengambil handuk kecil dari genggamannya. Kenny tersenyum dan menyerahkan
handuk itu, pergi menuju dapur.
Aku mengenal Kenny sejak awal kuliah dan bola pertemanan di antara kami
bergulir begitu saja. Kali pertama kukenalkan Nai kepadanya, mereka langsung
akrab. Nai seperti menemukan pusat informasi yang bisa diaksesnya kapan saja. Menggali
informasi tentangku lewat Ken. Ken tentu saja senang mendapati seseorang yang
mau mendengar kekonyolan-kekonyolanku. Selain tuhan, rasanya hanya Ken yang
paling tau aib-aibku dan sekarang dia membeberkannya ke Nai dengan senang hati.
Menyebalkan bukan.
Bagiku dan Nai, Kenny kotak rahasia. Menyimpan banyak cerita tantangku
dan Nai. Namun Ken tak pernah, tidak pernah mau menjadikan dirinya jembatan
bagi kami berdua. Segala hal yang kuceritakan kepadanya, disimpan rapat-rapat. Segala
hal yang diceritakan Nai, dikuncinya rapat-rapat. Kecuali kekonyolan sekadar bahan
bercandaan, sisanya, selalu ditutupinya dengan rapi.
Dua manusia dewasa seharusnya bisa berkomunikasi tanpa medium, aku tak
ingin menjadi jembatan bagi kalian. Urus masalah kalian sendiri, aku hanya akan
mendengarkan saja, kata Ken suatu hari. Aku bersyukur, begitu pun Nai. Ken
menjadi tempat kami menyimpan banyak hal dan tak pernah ingin melibatkan
dirinya, tak menjadikan dirinya pahlawan bagi kami. Aku dan Nai memperlakukan
hal sama, kami tak membagi cerita yang Ken ceritakan ke kami. Itu cara kami
menghargainya.
Meski kami bersahabat, kami tak sering menghabiskan waktu bersama. Ken
bisa menghilang beberapa waktu, tidak ada jejak, tidak ada kabar, dan kembali
sesukanya. Anehnya, Ken selalu datang saat kondisiku terpuruk, hadir dalam
beragam bentuk, sambungan telepon atau tiba-tiba saja muncul di depan rumahku. Begitu
lah Ken, deep blue-ku, lautan terdalam yang menyimpan banyak rahasia.
“Lo membuat gue merasa berguna sebagai manusia,” kata Ken ketika
kutanya mengapa dia seperti selalu tahu kondisiku. Jawaban yang tidak singkron
dengan pertanyaan, jawaban yang tidak menjawab apa pun. “Senggaknya, ada satu
makhluk di dunia ini yang bisa gue tolong. Firasat gue kuat banget kalo tentang
lo, entah kenapa.”
Ken meletakkan sepiring nasi goreng ikan teri dan segelah teh tawar di
hadapanku. Ken menyilangkan tangannya sambil menatapku. Kupikir, Ken lama-lama
lebih mirip pengawas ujian UN dan sebagai murid, membuatku tak berani menatapnya
dan berfokus mengerjakan tugasku; menghabiskan masakannya.
Dia menyingkirkan piring ke sebelah kanan tubuhku setelah isinya pindah
ke perutku. Duduk bersisian denganku. Ken jelas
sedang meminta penjelasan mengenai nasib buruk yang sedang menimpaku sehingga
aku menyayat lenganku dengan silet. Dan permintaannya, akan menjadi bagian paling
menyebalkan karena aku harus mereka ulang kesedihan dan itu membuatku sakit.
Aku menceritakan seluruhnya kepadanya, tak melewatkan sedikitpun detail
kejadian itu padanya. Perihal pertemuanku dengan Nai di taman, tentang sebuket
bunga kertas sebagai ucapan atas pertunangannya dengan lelaki itu. Tentang sikapku yang berusaha sok kuat di
hadapan Nai dan permintaanku yang berujung penolakan. Nai tak mengubah
pilihannya, memilih meninggalkanku dan bertunangan dengan lelaki itu.
“Aku pasrah, Ken. Rasanya, tidak ada yang baik di hidup ini.”
“Bim, kalau lo harus berjalan dengan satu kaki, lo harus tetap jalan
bahkan kalau keduanya lumpuh, berjalan dengan tangan lo. Sehancur-hancurnya lo,
seburuk-buruknya hidup lo, selagi lo hidup, artinya lo hidup dan lo harus
menjalaninya. Gue nggak tau gimana cara melewatkan ini semua, hidup ini nggak
ada polanya. Temukan cara lo atau jalani saja, sepait apa pun itu.”
Ken memelukku. Pelukan hangat itu menghancurkan tembok pertahananku. Sudut
mata yang basah, kini tumpah. Mengalirkan aliran yang deras di kedua pipiku. “Ken,
di depan mungkin lebih sulit. Mungkin tidak ada kebahagiaan untukku. Tapi, ada
atau tidak bahagia itu, aku akan terus berjalan. Meski terseok-seok, aku akan
terus berjalan. Hidup hanya soal bertahan sampai ajal datang kan?”
“Hidup hanya soal bertahan sampai ajal datang,” ulangnya.
Ken melepas pelukannya, berjalan ke lemari, mengambil kaus dan
melemparkannya ke arahku. Ngafe yuk, ajaknya. Aku menggeleng pelan. “Ke TK aja,
aku ingin liat anak-anak bermain ayunan dan prosotan,” pintaku. Ken mengiyakan
dan memintaku mengganti pakaian.
Aku ingin belajar bahagia dari anak-anak. Tak mendendam, tak menyerah
dengan luka. Terus bermain, seolah hidup adalah panggung permaian yang tidak
mengenal kata berhenti.