Kabu dan Malam


“Kabu, gimana kabarnya, Nai?”
Kabu sahabat kami, seekor anjing kecil jenis Shiba. Nai pernah mengatakan padaku ingin memelihara seekor anjing dan memintaku menemaninya membeli dari pet shop. Kupikir itu bukan pilihan yang baik. Kita tidak pernah tahu, bisa saja anjing lucu dan menggemaskan yang kita bawa pulang hasil dari penyiksaan seseorang terhadap induknya. Aku menyarankan Nai untuk mengadposi saja dari salah satu teman kita. Butuh waktu berbulan-bulan hingga akhirnya seorang teman mengizinkan kami mengadopsinya.
Aku akan menjenguknya sesekali, jika kamu tak becus merawatnya akan kuambil lagi, kata temanku. Kami sepakat mengenai hal itu. Baik Nai dan aku memang tak punya reputasi memelihara hewan apa pun, kupikir perkataannya berasalan. Dia tak ingin salah orang. Anjing mungil ini mengingatkanku pada sosok Hachiko.
“Kita butuh nama, biar mudah manggilnya,” ucap Nai penuh antusias.
“Kabu,” celetukku pendek.
“Kabu? Apa artinya?”
“Nggak tau. Aku nggak ngerti bahasa Jepang, tetapi Kabu nama Anjing dalam film 5 Centimeters per Second.”
“Dasar maniak anime, apa-apa hubungannya sama anime,” Nai jengkel denganku.
“Ini keren, Nai, tonton dulu baru komentar.”
Kami menyingkarkan persoalan nama sejenak, menikmati film dari layar leptopku. Aku ingat betul perkataan Makoto Shinkai, sutaradara film ini. ‘The title 5 Centimeters Per Second comes from the speed at which cherry blossoms petals fall, petals being a metaphorical representation of humans, reminiscent of the slowness of life and how people often start together but slowly drift into their separate ways.’
Makoto benar, tidak ada yang bisa menutup kemungkinan apa pun di dunia ini. Bertahun-tahun memperjuangkan sesuatu yang kita anggap paling besar dalam hidup kita, berusaha mengikis jarak yang membentang, lalu, pada satu kesempatan kita akhirnya bisa tinggal dalam satu kota tetapi tetap saja tak bisa bersama. Bahkan, kita mulai mempertanyakan, benarkah jarak yang merenggut semuanya dari kita atau kita yang merasa tak lagi bisa bersama.
film ini membuatku memahami, jarak terjauh bukanlah satuan kilomter, melainkan hati. Hati yang tak lagi jatuh dan mengalir, tak peduli sedekat apapun jarak di antara sepasang kekasih.
Nai masih sesegukan sambil mengelap matanya yang basah menggunakan ujung kausnya. Aku tersenyum puas melihatnya menangis karena menonton film yang dianggapnya buruk itu. Ketawain aja, Bim, nggak perlu ngumpet-ngumpet gitu, katanya, tangannya menyikut tubuhku pelan. Aku pura-pura kesakitan, Nai malah mencubit perutku tanpa henti dan baru berhenti ketika kukatakan aku menyerah dan tidak tertawa lagi.
Ketika tangannya menjauh dari tubuhku, aku tertawa lagi dan Nai ikut tertawa. Kami tertawa bersama untuk sesuatu yang tidak kami pahami. Nai setuju memberinya nama Kabu, meski dia tak tahu artinya.
“Kamu pelihara apa, Bim?
Ini pertanyaan sulit buatku. Aku tak terlalu suka binatang, tepatnya, malas mengurusnya. Aku sangat teledor dalam banyak hal, tak becus mengurus diriku sendiri, lantas bagaimana jika memiliki hewan peliharaan.
Ketika kecil, aku pernah memelihara ikan mas koki. Karena tak memiliki aquarium, aku menggali tanah di halaman rumah, membuat kolam dari plastik. Aku menaruh beberapa potongan genteng agar ikan peliharaanku dapat berteduh di bawahnya. Sesekali aku pergi ke selokan mencari cacing sutra. Naas betul basib ikanku, dia berakhir di perut seekor kucing ketika aku lupa menutup kolam itu.
Aku juga pernah memelihara seekor kucing. Kucing kampung berwarna putih dan bergaris-garis hitam di tubuhnya. Ekornya pendek tetapi bulunya sangat lebat. Aku memangilnya Remi, tokoh kartun yang sering kutonton di televisi. Mama melarangku memasukannya ke rumah, bulu yang tertinggal di sofa kerap membuatnya bersin. Remi tidur di depan rumahku. Suatu hari, dia menghilang dan setelah itu aku tak pernah lagi memelihara hewan apa pun.
“Pelihara kamu aja, gimana? bisa jadi teman hidup beneran kan,” candaku.
“Ngomong sana sama dedek-dedek gemes. Geli aku dengernya.”
“Aku aja mau muntah, Nai.. hahaha.”
“Serius, Bim, mau pelihara apa? aku bantu rawat deh.”
“Burung hantu. Yang putih. Lucu kan, kalau malem suaranya bikin merinding.”
“Itu horor, aku takut hantu. Jangan macem-macem deh.”
“Fix. Aku akan pelihara burung hantu dan akan kukasih nama Malam.”
Nai hanya geleng-geleng kepala yang kutafsirkan sebagai umpatan, dasar gendeng. Dia bermain bersama Kabu di halaman belakang rumahnya. Aku hanya duduk memerhatikannya tersenyum bahagia. Aku tahu, ini muskil dan sangat membosankan karena terlalu sering kukatakan berulang-ulang, Tapi ini salah satu keinginan terbesar dalam hidupku, mengabadikan momen-momen bahagia bersamamu, Nai. Selalu ada rasa bahagia yang mengalir dalam hatiku ketika melihatmu bahagia.
# # #
“Bim . . . Bim, denger omonganku, nggak? Malah bengong
“Oh, iya, sorry . . . sorry. Gimana Kabu?” kataku gelapan. Tepukan Nai di pundakku menarikku kembali dari pusaran masa lalu. Tentang Kabu yang tak pernah lagi kujenguk semenjak kami berpisah.
“Kabu baik, sangat baik. Gemuk banget dia. Suamiku seneng banget main sama dia,” jawab Nai. “Kapan-kapan kamu harus jenguk dia, Bim,” pinta Nai dan membuatku sedikit berpikir mencari kata-kata yang pas untuk menanggapinya.
“Kapan-kapan pasti kujenguk.”
Meski aku tak tahu kapan-kapan itu akan datang atau tidak. Akan ada atau tidak





Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar