“Kalau ada mesin waktu, lo mau pakai buat apa?”
Pertanyaan yang dilontarkan seorang teman membuat kami bertiga terdiam.
Kami berempat sekumpulan manusia melankolis yang menghabiskan malam sabtu di
sebuah kedai kopi dengan obrolan-obrolan yang berat – setidaknya, obrolan
mengenai politik, pendidikan, buku, film, sedikit curhat – bagi salah satu teman
saya dianggap berat untuk malam yang seharusnya dijadikan hore -hore setelah
melepas penat bekerja.
Anehnya, kami bertiga tak pernah merasa obrolan kami berat. Gaya pertemanan
ini memang sedikit menyebalkan, lebih sering berdiskusi apa saja, termasuk
agama, meski kami bukan penganut agama yang taat. Tak jarang, kami menebus
kebosanan dengan berpindah tempat ke sebuah bar, minum sampai pagi.
“Nggak harus tentang diri sendiri kan?” tanya saya.
“Ya bebas lah, suka-suka. Berat amat hidup lo,” jawab teman yang tadi
melontarkan pertanyaan.
“Gue mau ke Fathul Makkah.”
Di lingkup pertemanan lain, mungkin tak akan ada yang menanggapi serius
omongan saya. Bahkan, saya tak berani mengungkapkannya. Mereka tahu, saya bukan
penganut agama yang taat. Sudah 10 tahun saya tidak salat – sesekali saya rindu
tuhan dan salat, dalam setahun tak lebih dari hitungan jari.
Di lingkup pertemanan ini, mereka tahu bagaimana saya bertuhan. Bagaimana
saya mencoba melepaskan label-label agama, keseragaman agama dalam bertuhan. Bertuhan,
bagi saya sebagai bentuk spritualitas seseorang yang tidak dapat diukur apapun,
hanya diri dan tuhan. Agama, hanya tata cara seseorang menuju tuhannya dan
tidak dapat disegaramkan.
Seperti cinta yang tidak bisa diukur, sebesar apa, sedalam apa, tetapi
dapat dirasakan. Dan saya, memiliki bentuk cinta kepada tuhan yang sulit saya
definisikan, mungkin di luar pemahaman kebanyakan orang. Segala label seperti
liberal, kafir, dan murtad, telah saya terima. Tak jadi soal, saya bertuhan
tidak berdasarkan penilaian orang lain dan jika cara saya salah dalam mencintai
tuhan, itu juga tak jadi soal.
Yang saya sadari, saya tak memiliki kemampuan mengukur bagaimana tuhan
berpikir dan menilai manusia. Biarlah
tuhan yang nantinya menilai, apa yang saya lakukan salah atau benar. Perkara
manusia, saya tak ambil pusing.
“Jatuh cinta ya sama momen itu?” tanya teman lainnya.
“ Iya. Bagi saya, Fathul Makkah itu bentuk cinta yang sebenarnya. Cinta
terhadap pencipta dan cinta terhadap manusia. Setelah berjuang menyebarkan
islam, diburu dan berusaha dibunuh, berperang, menetap di Madinah, lalu kembali
ke Makkah, Rosulullah tidak dendam. Kalau tidak salah, Nabi Muhammad
mengatakan, “Hari ini hari kasih sayang.”
Semua tahanan perang dibebaskan, kaum quraish dibebaskan menentukan
pilihan, masuk agama islam atau tetap memegang teguh keyakinannya. Tidak ada
paksaan dalam menganut agama, padahal, dengan kemampuannya bisa saja
ditetapkan, yang tidak mau menganut silam akan dibunuh. Namun, beliau tidak
melakukan itu. Islam mengajarkan cinta. dan jika kita melihat bagaimana
orang-orang di jalan mengatasnamakan agama dengan membuat kerusakan dan
membunuh, siapa yang mereka ikuti, Rosulullah atau ego mereka dalam beragama.”
Hal ini pernah saya ceritakan ke mantan saya yang berbeda agama. Dia beragama
protestan. Jauh sebelum kami memulai hubungan, saya tegaskan ke dia, saya hanya
manusia, saya tidak memiliki kemampuan memberi hidayah. Jadi, tidak mungkin
saya memaksanya untuk pindah agama demi menikah dengan saya.
Saya juga menceritakan momen Aamul Hajni (tahun kesedihan). Tahun
di mana Rosulullah ditinggal pamannya untuk selamanya. Pamannya merawat beliau
sejak kecil, setelah kakek yang merawatnya wafat. Pamannya meninggal belum
sempat mengucapkan syahadat. Bahkan, Rosulullah hanya menjadi perantara hidayah
dalam mengislamkan seseorang. Hidayah tetap menjadi kuasa Allah.
Jika mesin waktu benar-benar ada, saya tidak (belum) mengubah pikiran
saya, saya ingin ke Fathul Makkah. Melihat Rosulullah berkhutbah.
0 comments:
Posting Komentar