Kanika;
Aku pernah membayangkan, bukan. . . bukan membayangkan, tetapi memimpikan
pernikahan dengannya. Bahkan setelah memutuskan hubunganku dengannya dan
menjalin hubungan dengan beberapa pria lainnya, impian itu tidak pernah pudar,
tak sedikitpun memudar dari benakku. Pria-pria yang singgah di hidupku justru
memperkuat keinginanku menghabiskan hidup bersamanya.
Tidak ada pria yang lebih baik, pengertian, sabar dengan sikapku yang
berubah-berubah dan mampu membuatku nyaman selain Gama. Pria yang kuserahkan kunci
gembok rahasiaku pada hari pertama kita berjumpa. Gama, hanya dia sosok yang
mampu membuatku nyaman bercerita apa saja, menangis sejadi-jadinya tanpa takut dianggap
lemah.
Dia yang meyakinkanku untuk tak pernah lari dari apapun. Bersamaku,
kita hadapi semua. Kamu tak perlu lari lagi, katanya. Beberapa kalimat darinya
mengubah hidupku.
Pria yang ingin kuhabiskan sisa hidupku bersamanya kini ada di
hadapanku. Berdiri di depanku dengan sorot mata tajam, menusuk hingga ke ulu
hatiku. Tatapan mata yang sama yang membuatku kagum di awal perjumpaan kami. Tatapan
itu juga yang membuatku tak betah lama-lama memandang matanya, aku takut
tertusuk tatapannya.
Ketika dia menggenggam tanganku, sorot mata itu berubah menjadi teduh, begitu
menenangkan, membuatku ingin masuk ke dalamnya, bersembunyi dari segala
keburukan hidup yang membuatku rapuh. Namun aku sadar, sorot mata itu tak lagi
untukku. Bukan jatahku, dia milik seorang gadis yang pernah kujumpai beberapa
waktu lalu. Ingatan itu membuatku refleks menarik tanganku dari genggaman Gama.
“Cukup, Gama. Kamu tidak perlu lagi mengkhawatirkanku, tidak perlu
menjagaku. Sebaiknya kamu pulang, sudah larut,” kataku.
Gama maju beberapa langkah, wajahnya hanya terpaut beberapa senti dari
wajahku. Hembusan napasnya menyentuh wajahku, aroma rokok yang kubenci tetapi
tak pernah membuatku ingin jauh darinya. Aku bahkan selalu memimpikan momen
seperti ini, meski aku tahu, sekarang bukan waktunya. Sudah bukan jatahku lagi.
“Setop, Gama,” kataku, mendorong tubuhnya pelan. Gama menarik langkah
kakinya ke belakang, mundur beberapa langkah dari hadapanku. “Aku gak butuh
dikasihanin. Berhenti berskiap baik padaku, berhenti melakukan segala hal dalam
hidupku.”
“Aku masih sayang kamu, Kanika. Aku ingin memilikimu sekali lagi,” ucap
Gama.
Kata-kata Gama seperti halilintar yang mengubah suasana hening malam. Jika
dia mengatakannya sebulan lalu, jika dia mengucapkannya sebelum aku mengenal
gadis itu, jika dia datang padaku seperti ini saat dirinya masih sendiri, aku
pasti menjadi perempuan paling bahagia di dunia ini. Laki-laki yang paling
kucintai berdiri di hadapanku dan mengutarakan keinginannya hidup bersamaku.
Sekarang, semua itu tak penting lagi, tak ada arti lagi, sepercuma
membuang garam di lautan, sia-sia saja.
“Mulai hari ini, kita urus hidup kita masing-masing.”
“Kalau itu mau kamu, aku terima keputusan kamu. Seperti dulu, aku
selalu memghormati keputusan kamu,” kata Gama sambil berlalu pergi
meningalkanku.
Aku tak tahu dari mana kata-kata itu dan bagaimana bisa meluncur begitu
saja dari mulutku. Tetapi mungkin ini yang terbaik bagi kami berdua. Aku
belajar tak berharap apapun dari Gama dan Gama bisa melanjutkan hubunganya
dengan gadis itu. Kupikir, ini baik bagi semuanya, meski dalam hatiku, aku tak
benar-benar yakin bahwa melepas Gama dapat membuatku bahagia.
Aku pernah melepasnya sekali dan itu membuatku hancur. Tetapi aku masih
hidup sampai saat ini, artinya aku hanya hancur, tidak akan mati. Semua akan
berlalu, kataku pada diri sendiri, berusaha menguatkan diriku sendiri.
# # #
Gama;
“Mulai hari ini, kita urus hidup kita masing-masing,” kata Kanika
kepadaku.
Aku tidak mengerti isi kepala Kanika. Perempuan itu memintaku sekali
lagi pergi dari hidupnya, seperti dulu saat dia memintaku menjauh dari segala
hal tentangnya. Dia membangun tembok-tembok besar dariku. Aku tak berusaha
merobohkan tembok itu, aku memilih membuat tangga, menapakinya sesekali dari
balik tembok besar yang dia ciptakan, memerhatikannya dari jauh, menjaganya
dari jauh.
Hingga aku menyadari ada yang berubah dalam diriku, perasaan ingin
memiliki hilang begitu saja, hanya keinginan menjaganya yang tetap tinggal
dalam diriku. Mungkin ini cinta, mungkin sayang, atau hanya ego dari seorang
lelaki yang berusaha memenuhi janjinya kepada seseorang yang pernah amat
dicintainya.
“Jika kita putus nanti, aku tidak akan mengganggumu. Aku akan terus
menjagamu, sebisa yang aku mampu. Kamu boleh datang kapanpun kamu mau, dalam
kondisi apapun. Apapun,” kataku di awal kami pacaran.
Beberapa bulan setelah kami putus, hubungan kami membaik. Kami mulai
berkomunikasi lagi meski aku sadar, tembok-tembok itu belum hancur seluruhnya.
Kanika yang kukenal masih bersembunyi di balik tembok-tembok yang dia ciptakan.
Aku tak punya keinginan merobohkan tembok-tembok itu, aku mencukupkan diri dari
pertemanan ini. Bagiku, melihatnya baik-baik saja atau membantunya menjadi
lebih baik itu sudah cukup. Perihal kebersamaan yang pernah kita impikan, sudah
kubuang jauh-jauh dari pikirku. Aku hanya ingin memastikannya baik dan itu
cukup untukku.
Suatu hari, Kanika datang padaku, mengatakan padaku telah menemukan
seseorang. Aku berpura-pura bahagia, nyatanya, harapan itu masih ada, menempel kuat
di pikiran dan hatiku. Detik itu juga aku merapikan koperku, menarik diri
darinya. Segala hal yang berbau tentangnya, membuatku sakit. Segala ingatan
tentangnya membuatku terluka. Aku harus belajar melepas, meski aku tak tahu,
tak pernah benar-benar tahu berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Tahun demi tahun berlalu tanpa ada komunikasi lagi. Aku berpikir,
Kanika telah menemukan orang yang tepat dalam hidupnya, dia tak membutuhkanku
lagi. Aku tak tahu apa yang dipikirkan Kanika atas kepergianku dan aku tak berani
menebak-nebak isi kepalanya, yang seringkali gagal kupahami. Tapi sore itu,
menjadi babak baru bagiku dan Kanika. Perempuan mungil itu duduk di pojok salah
satu kafe tempatku biasa menghabiskan waktu dengannya.
Aku mencoba menghindarinya, anehnya, kakiku malah bergerak menuju
mejanya. Berdiri kaku seperti robot yang kehilangan kendali. “Hai,” sapaku
canggung dan dibalas dengan “hai” lalu dia memintaku duduk, tepat di
hadapannya. Kupikir butuh waktu lama bagi kami untuk mencairkan suasana setelah
bertahun-tahun tak bertemu. Namun, anggapanku salah. Sebuah celetukan ringan
seperti segelas air panas yang mampu mencairkan
balok es percakapan kami. Semua
begitu mudah, begitu cepat hingga aku tak menydari begitu banyak hal yang kami
bicarakan. Seperti dua orang yang puasa bicara, sekalinya diberi kesempatan begitu
banyak kata-kata yang keluar dan sulit direm.
Kanika mengatakan padaku pernah menjalin beberapa hubungan dan selalu
gagal. Dia menyerah dan pasrah, menunggu pangeran berkuda menjemputnya. Dia tak
ingin berusaha keras mencari pasangan. Jika waktunya tiba, pernikahan akan
menjadi nyata. Aku hanya perlu menunggu saja, katanya. Selepas putus dengan
Kanika, hanya satu kali aku berpacaran. Itu pun berakhir dengan rasa bersalah
karena aku memutuskan hubungan itu secara sepihak. Aku menyadari, belum bisa
mencintai orang lain selain Kanika.
Dan malam ini, Kanika kembali memutus tali yang mendekatkanku
kepadanya. Membangun tembok-tembok seperti dulu agar aku tak bisa menggapainya.
Aku tak tahu apa yang dipikirkannya. Aku masih seperti dulu, menghormati
keputusannya dan belajar melepasnya sekali lagi.
# # #
Kanika;
Satu hal yang paling kubenci dalam hidup ini; dikasihani. Aku benci
tatapan iba dari orang lain. Aku perempuan kuat, setidaknya, aku selalu
berusaha terlihat kuat di hadapan siapa pun. Meski pada waktu-waktu tertentu
aku hanya bisa menangis di dalam kamar seorang diri. Aku tak ingin membaginya
ke siapa pun. Satu-satunya orang yang kupercaya membagi tangisku hanya Gama dan
kali ini, air mataku tumpah karenanya. Aku tidak mungkin menceritakan
kesedihanku pada orang yang telah membuatku terluka. Itu seperti menyerahkan
dirimu kepada buaya lapar, ditelan hidup-hidup tanpa perlawanan dan aku tak mau
menyerah tanpa melawan.
“Pucet amat, Nik. Sakit lo, mending istirahat aja,” celetuk Sarah, teman
kantor sekaligus sahabatku.
“Cuma kurang tidur aja, Sar. Nanti pasti baik kok,” jawabku singkat.
“Ada hubungannya sama Gama?” selidiknya.
“Hidup gue nggak selalu tentang Gama ya, Sar,”
“Berapa kali sih gue liat lo putus dan lo bisa bangkit dalam waktu
cepat. Cuma Gama yang bisa bikin lo nggak tidur berhari-hari. Mata bengkak dan
akhirnya ambruk. Ada apa lagi sih, Nik?”
Melihatku menjatuhkan kepala ke atas meja dan mulai terisak, Sarah
menarik kursi sembarang dan duduk di sebelahku. Aku tak tahan lagi, pertahananku
jebol sudah. Air mata ini rasanya tak dapat lagi dibendung. Hilang sudah image
Kanika yang kuat dan aku tak lagi peduli tentang julukan itu. Aku hanya
perempuan yang berusaha sok kuat dan pada akhirnya kalah juga dengan hidup.
“Tau gimana rasanya jatuh cinta dan patah hati sekaligus?” tanyaku ke
Sarah. Dia menggeleng sambil terus mengusap-usap punggungku. “Tiga hari lalu
Gama datang ke rumah, dia bilang masih sayang sama aku. Aku seneng banget
dengernya, itu kayak mimpi dan akhirnya emang cuma jadi mimpi. Gama bilang
sayang sama gue saat dia juga jalin hubungan sama cewek lain. Itu yang membuat
gue sakit, Sar.”
“Emang lo tau dari mana Gama udah punya pacar?”
“Gama pernah kasih liat foto mantannya. Dua minggu lalu, aku liat di
pelukan sama cewek yang persis dalam foto itu. Aku langsung tau kalau itu
mantannya dan mereka balikan.”
“Lo udah tanya ke Gama?”
“Buat apa? biar langsung denger dari mulutnya kalau mereka balikan. Itu
kaya nusuk diri lo berkali-kali,” ucapku.
# # #
Gama;
Sarah memintaku datang ke sebuah kafe di bilangan selatan Jakarta. Aku kenal
Sarah sejak lama, dia sahabat Kanika, tapi aku tak terlalu dekat dengannya. Aku
sendiri heran, badai apa yang membuatnya begitu tergesa-gesa memintaku datang
menemuinya. Bahkan, dia memintaku malam ini juga. Aku sudah mengatakan begitu
lelah dan ingin segera istirahat. Ini tentang Kanika, katanya. Tanpa pikir
panjang aku mengiyakan ajakannya.
Sarah duduk di ruang yang tak bersahabat bagi perokok sepertiku. Mulutku
asam setelah dua jam terjebak macet jalanan ibu kota. Aku ingin memintanya
pindah ke ruang merokok, melihat tampangnya yang serius, kurungkan niat itu dan
langsung duduk.
“Langsung aja, Gam, maksud lo apa bilang sayang ke Nik?”
“Gue nggak paham dengan obrolan ini. Ada yang salah emang, Sar?”
“Lo salah satu orang cerdas yang gue kenal, tapi malam ini lo malah
berpura-pura tolol,” umpat Sarah. Aku hanya mengendikkan bahu, isyarat tak
memahami percakapannya. “Oke. Kanika bilang, beberapa hari lalu, lo bilang
sayang ke dia dan dia liat lo pelukan sama mantan lo. Mau lo apa sih, Gam?”
Aku menarik napas dalam-dalam. Ini jawabannya, jawaban atas reakasi
Kanika yang berubah tiba-tiba. “Kanika dimana?” tanyaku.
“Jelasin ke gue, maksud lo apa?”
“Gue bisa jelasin nanti tapi yang penting, gue harus tau dimana Kanika
sekarang. Plis, Sar.”
“Dia di rumah, pulang lebih cepet gara-gara sakit,” jawab Sarah.
Aku berlari menuju parkiran tanpa memedulikan teriakan dari Sarah. Aku
bisa menjelaskan ke Sarah kapan pun, tapi yang paling penting, Kanika harus
tahu kebenaranya.
Kepala Kanika menyembul dari balik pintu yang terbuka sedikit. Aku menerobos
masuk, tak ingin kehilangan kesempatan emas ini. Kanika kesal melihatku
kelakukan kasarku. Dia menarik diri dan duduk di sofa. Aku menghampirinya,
duduk di sebelahnya.
“Aku tadi ketemu Sarah, dia jelasin semuanya. Ini salah paham,
Nik. Yang kamu liat waktu itu, nggak
seperti yang ada di kepala kamu. Dia cuma pamit dan minta pelukan terakhir. Itu
aja. Aku nggak balikan sama dia,” cerocosku dan sukses membuat Kanika melongo.
“Jadi yang waktu itu . . .’”
“Iya, itu cuma pelukan sebagai teman. Dulu, aku mutusin dia karena aku
tahu, hati aku cuma buat kamu. Aku berusaha sebisa mungkin ngelupain kamu tapi
gagal. Aku harap kita bisa bersama lagi,” pintaku.
Kanika merosot dari dari duduknya, jatuh ke lantai.
# # #
Kanika;
Aku pulang lebih cepat, tubuhku tidak bisa diajak kerjasama. Baru
berusaha memejamkan mata, suara ketukan di pintu yang lebih mirip gedoran itu
memaksaku bangkit dari kasur. Berjalan lemah menuju pintu. Aku sengaja membuka
sedikit pintu, dengan tubuhku yang lemah, aku tak bisa melawan jika yang datang
adalah perampok. Dan benar saja, di hadapanku kini berdiri seorang perampok
yang telah mengambil hati dan harapan hidupku.
Gama mendorong keras pintu, membuat pintu terbuka seluruhnya. Aku tak
ingin berdebat, terlalu lelah berdebat. Aku berjalan menuju sofa, Gama
mengikutiku dari belakang. Belum benar pantatku rebah di atas sofa, Gama
nyerocos tiada henti. Tubuhku tersungkur di lantai, bukan karena tubuhku tak
mampu lagi menahan rasa sakit, tetapi karena hatiku yang meletup-letup.
P“itu cuma pelukan perpisahan. pelukan sebagai teman,” jelas Gama.
Tiba-tiba saja pipiku menghangat, aliran air mengalirinya. Air mataku
jatuh tanpa dikomando. Jadi, ini bukan mimpi. Impian ini bukan bunga tidur. Impian
hidup bersama bukan khayalan yang hanya bisa kulamunkan. Gama memelukku, aku
membelas pelukannya.
Aku nggak akan lari lagi, semua kepahitan hidup akan kuhadapi, selama
ada Gama di sampingku, aku tak takut apa-apa lagi.
0 comments:
Posting Komentar