Ia tak bicara cinta sebab setiap detak di jantungnya adalah harap agar kamu bahagia. ia selalu memilih jadi yang terakhir. terakhir menikmati hidangan di meja makan dengan lauk seadanya. terakhir membeli sesuatu untuk dirinya. terakhir menikmati hasil jerih payahnya, yang bisa saja dia sisihkan sebagai bentuk penghargaan atas setiap tetes keringat yang keluar dari tubuhnya. tapi ia memilih menjadi yang terakhir menikmati semua-semuanya karena yang pertama selalu untukmu; anaknya. ia tak melihatmu dengan angka-angka. ia menyayangimu bukan dari sederet angka di lembar [.....]
ia menyimpan cemas di jantungnya, memenuhi hatinya dengan doa; untukmu. ia mengetahui yang tidak kamu ceritakan. merasakan yang kamu rasakan. ia menahan diri untuk bertanya, memberi ruang untukmu, menunggumu bercerita tentang luka juga bahagia, bercerita apa saja. ia menyiapkan sepasang telinga untuk selalu mendengarkan. ia telah terlatih sejak tubuhmu keluar dari rahimnya dan suara tangismu memecah hening ruang persalinan. tubuhnya tak lagi sekokoh karang, tapi hatinya, benteng yang tak tergoyahkan, tempat paling [.....]
Jalan itu pernah menjadi tempat kaki kita berpijak. Menyusuri lengang beriringan, saling mengenggam. Langkah-langkah kita terhapus langkah-langkah kaki manusia lainnya. Jejak kita terhapus hujan. Dijatuhi dedaunan pada musim kemarau. Dilintasi zaman yang terus bergerak ke depan. Tapi, setiap kali menyusuri jalan itu, aku kembali hidup di masa lalu. Aku melihatmu yang kini tak lagi bersamaku. Kursi itu pernah menahan beban tubuh kita. Kali pertama kamu mencuri kecup di pipiku. Kali pertama mengabadikan foto bersama dengan telepon genggam seadanya. Jejak tubuh kita terhapus [.....]