Ia tak bicara cinta
sebab setiap detak di jantungnya adalah harap agar kamu bahagia.
ia selalu memilih jadi
yang terakhir. terakhir menikmati hidangan di meja makan dengan lauk seadanya.
terakhir membeli sesuatu untuk dirinya. terakhir menikmati hasil jerih
payahnya, yang bisa saja dia sisihkan sebagai bentuk penghargaan atas setiap
tetes keringat yang keluar dari tubuhnya. tapi ia memilih menjadi yang terakhir
menikmati semua-semuanya karena yang pertama selalu untukmu; anaknya.
ia tak melihatmu
dengan angka-angka. ia menyayangimu bukan dari sederet angka di lembar raport
sekolahmu. ia tetap bangga, membusungkan dadanya di hari kelulusanmu meski
nilaimu tak seberapa. ia tetap bercerita pada tetangga, betapa bangganya dia
terhadapmu meski pekerjaanmu biasa saja dan pakaian yang kamu kenakan tidak
berasal dari merek ternama. karena baginya, kamu anaknya, bukan deretan
angka-angka yang melekat pada tubuhmu. karena ia mencintaimu apa adanya, bukan
dari berhasil atau tidaknya kamu menaklukan dunia.
ia tak bicara cinta.
cintanya mengalir di setiap tetes keringat yang jatuh dari tubuhnya, menjelma
makanan yang kamu makan, pakaian yang kamu kenakan, biaya pendidikan, biaya
berobat saat dirimu diserang sakit, buku bekas dari tukang loak ketika kamu
merengek minta dibelikan mainan dan hal-hal yang seringkali luput dari
perhatianmu. ia tak bicara cinta, ia menunjukkannya. tatap sejenak tubuhnya,
kamu akan melihat cinta yang besar di sana.
ia ayahmu, yang
mencintaimu tanpa memintamu menjadi apa-apa, menjadi siapa-siapa.