ayah


Ia tak bicara cinta sebab setiap detak di jantungnya adalah harap agar kamu bahagia.
ia selalu memilih jadi yang terakhir. terakhir menikmati hidangan di meja makan dengan lauk seadanya. terakhir membeli sesuatu untuk dirinya. terakhir menikmati hasil jerih payahnya, yang bisa saja dia sisihkan sebagai bentuk penghargaan atas setiap tetes keringat yang keluar dari tubuhnya. tapi ia memilih menjadi yang terakhir menikmati semua-semuanya karena yang pertama selalu untukmu; anaknya. 
ia tak melihatmu dengan angka-angka. ia menyayangimu bukan dari sederet angka di lembar raport sekolahmu. ia tetap bangga, membusungkan dadanya di hari kelulusanmu meski nilaimu tak seberapa. ia tetap bercerita pada tetangga, betapa bangganya dia terhadapmu meski pekerjaanmu biasa saja dan pakaian yang kamu kenakan tidak berasal dari merek ternama. karena baginya, kamu anaknya, bukan deretan angka-angka yang melekat pada tubuhmu. karena ia mencintaimu apa adanya, bukan dari berhasil atau tidaknya kamu menaklukan dunia. 
ia tak bicara cinta. cintanya mengalir di setiap tetes keringat yang jatuh dari tubuhnya, menjelma makanan yang kamu makan, pakaian yang kamu kenakan, biaya pendidikan, biaya berobat saat dirimu diserang sakit, buku bekas dari tukang loak ketika kamu merengek minta dibelikan mainan dan hal-hal yang seringkali luput dari perhatianmu. ia tak bicara cinta, ia menunjukkannya. tatap sejenak tubuhnya, kamu akan melihat cinta yang besar di sana. 
ia ayahmu, yang mencintaimu tanpa memintamu menjadi apa-apa, menjadi siapa-siapa.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar