Shalat tarawih pada malam pertama bulan Ramadhan selalu penuh. Bapak-bapak, ibu-ibu, remaja hingga anak-anak akan berjubel-jubel memenuhi mushola. Masing-masing saling berlomba mencari tempat duduk. Tapi shaf depan tak pernah menjadi rebutan. Meraka enggan duduk di barisan paling depan yang konon hanya diperuntukkan untuk para sesepuh kampung dan pejabat desa yang kebetulan menetap di kampung itu. Bukankah manusia di sisi Allah itu sama, yang membedakan hanyalah ketakwaannya. Tapi begitulah budaya timur, nggak enakan. Merasa risih, pamali dan tetek bengek lainnya.
Namun pemandangan itu hanya bertahan beberapa hari saja, paling lama satu minggu. Setelah seminggu jumlah shaf akan terus maju ke depan. Tak lagi berjubel-jubel seperti malam pertama. Saya sendiri heran melihatnya. Jika malam-malam terakhir ramadhan tiba, hanya menyisakan para manula, selebihnya entah kemana. Orang-orang sibuk mempersiapkan kebutuhan fisik menjelang Idul Fitri. Membeli baju, sepatu, membuat kue dal hal-hal duniawiah lainnya. Idul Fitri seolah menjadi runitas tahunan yang tak boleh ketinggalan. Merayakan fisknya dan lupa akan esensi yang sebenarnya.
Untuk orang Indonesia kata mushalla dan masjid memiliki arti yang berbeda. mushalla identik dengan tempat ibadah yang kecil, sempit. Sedangkan masjid identik dengan tempat ibadah luas, dan mampu menampung banyak jamaah. Padahal kalo merujuk ke bahasa Arab. mushalla berasal dari kata sholla, dan mushalla merupakan ismul makan yang berarti tempat shalat. Sedangkan masjid berasal dari kata sajada, dan masjid merupakan ismul makan yang berarti tempat sujud. Jika ditinjau dari segi bahasa, keduanya memiliki tujuan yang sama, tempat sholat dan tempat sujud. Hanya saja kedua padanan kata terbut akan berubah maknanya jika diucapkan oleh orang Indonesia.
Sepertihanya jihad. Kata jihad yang selalu diidentikkan dengan teroris ini maknanya telah dipersempit. Jihad identik dengan perang. Padahal jika merujuk pada bahasa aslinya, bahasa arab jihad berasal dari kata jahada, yang artinya bersungguh-sungguh. Mujtahid adalah fail yang berarti orang yang bersungguh-sungguh.
Islam bukankah agama yang sempit. Jika mau melihat, belajar dan menggali lebih dalam maka konteks jihad bisa diterapkan dalam segala segi kehidupan. Orang yang bersungguh-sungguh belajar, bisa dikatakan mujtahid. Begitu pula orang yang sungguh-sungguh bekerja. Seseorang dikatan mati syahid, jika dia berjihad dalam keadaan perang (jihad fil harbi). Dan tidak tepat jika para teroris yang melakukan bom bunuh diri Bali dikatakan mati syahid. Karena Indonesia dalam keadaan damai.
Islam bukanlah agama bar-bar. Bukan pula terorisme. Terorisme hanyalah banci-banci yang ingin terkenal dengan jalur pintas. Rosulullah sangat memerhatikan etika dalam hal apa pun, termasuk dalam keadaan perang. Rosuluuah berpesan kepada seluruh umat muslim yang berperang agar jangan membunuh wanita dan anak-anak. jangan pula membunuh manula serta merusak dan menebang pohon-pohon di negara itu. lalu bagaimana dengan terorisme?
0 comments:
Posting Komentar