Aku meletakkan telpon genggamku. Berbaring di atas kasur
tipis yang busanya hampir habis. Mataku menatap langit-langit kamar dan
pikiranku menembus batas langit-langit itu, mengantarkanku pada sebuah rumah nun
jauh di sana. Melihat perempuan tua sedang menyiapkan makanan sahur untuk
keluarga. Aku merindukan masakannya dan segala hal tentangnya. Suaranya yang
hanya bisa kudengar melalui telpon genggam sedikit mengobati rasa rinduku. Meski
suara tetangga tempat ibu meminjam telpon sempat membuatku kesal karena
menutupi suara ibu yang pelan. “Tenang
bu, lebaran kali ini aku pasti pulang,” gumamku.
Sudah dua lebaran aku tidak pulang ke rumah. Lebaran
pertama, aku baru lulus kuliah dan belum mendapatkan kerja. Pekerjaanku sebagai
pramuniaga di sebuah toko baju tentu saja tak kuhitung, gajinya kecil dan tabunganku selama bekerja sudah kukuras habis
untuk membiayai skripsi dan wisudaku. Bahkan aku tak mampu membelikan ibu tiket
untuk datang menghadiri wisudaku. Tapi aku tahu,ibu pasti bangga melihatku menggunakan
toga.
Sedangkan, lebaran
kedua aku harus dinas di luar kota. Sebagai anak baru, tentu saja aku harus
menuruti perintah atasanku dan mengambil tugas seniorku yang juga ingin pulang
dan menemui keluarganya. Aku sedikit
kesal sekaligus bersyukur. Uang dinas keluar kota dan lembur selama ini bisa
kutabung dan ketika pulang nanti bisa membawa oleh-oleh lebih banyak untuk
keluarga.