Menangis


“Kapan terakhir kali kamu menangis?” kata seorang teman setelah buka puasa bersama di Kedai Kita, Bogor, sore tadi berakhir. Hanya tinggal kami berdua, lainnya sudah pulang dengan berbagai alasan. Ada yang harus pulang cepat kerena kerja shift malam, ada yang harus menidurkan anaknya yang rewel minta pulang dan ada yang ingin menghabiskan malam minggunya bersama pasangannya. Teman saya punya pasangan tetapi memilih untuk menghabiskan waktu bersama saya, mungkin sedang bertengkar, hal itu terlihat dari pertanyaan yang dilontarkan kepadaku barusan.  

Aku hanya bisa tersenyum karena bingung harus menjawab apa. Aku menyeruput kopi, bahkan saat berbuka puasa pun aku memesan secangkir kopi hitam. Setelah meneguk sedikit, aku mengatakan lupa kapan terakhir kali aku menangis dan perkara menangis bagiku adalah hal yang rumit untuk dijelaskan.

“Aku suka banget menangis,” katanya setelah mendengar jawaban saya yang saya pikir tidak dia simak sedikit pun.

Dia mulai becerita kenapa dia suka menangis, namun dia lupa kapan tepatnya kesukaan itu dimulai. Dia tidak menangis setiap hari tetapi dalam satu minggu ada saja hal-hal yang membuatnya menangis dan itu tak melulu mengenai kekasihnya yang baru dia pacari enam bulan ini.

Ada banyak hal yang mampu membuatnya menangis, tapi tentu saja aku tak menceritakannya semua kepada kalian, hanya beberapa hal saja yang kutulis disini. Dia terkadang  menangis saat menonton sebuah film, saat melihat ibu tua renta mengais sampah dan memakan sisa makanan dari tempat sampah tersebut. Dia juga menangis saat melihat anak kecil meminta-minta di jalan. Menurutnya, anak sekecil itu harusnya bersekolah dan bermain, bukan meminta-minta di jalan.

Namun yang membuatku tercengang saat dia mengantakan tak menangis ketika ibunya meninggal. Aku tak habis pikir, bagaimana hal remeh mampu membuatnya menangis sedangkan ditingalkan orang yang paling dia sayangi justru tak membuatnya menitikkan air mata sedikit pun.

“Kamu tahu, terkadang saking sakitnya, kita justru nggak mampu mengeluarkan air mata. Saat ibu pergi, aku hancur, hatiku remuk. Saking hancurnya mataku bahkan tak bisa menitikkan air mata.”

Aku menepuk-nepuk pelan bahunya, mencoba memahami kesedihannya. Aku menatap matanya, namun tak menemukan air mata yang jatuh. Ada mendung yang menggelayut disana, namun tak juga membuat butiran-butiran kecil itu jatuh membasahi pipinya.

“Jadi, kapan terakhir kali kamu menangis?” katanya sambil tersenyum dan seketika membuat mendung itu hilang.

Aku hanya tersenyum, kembali menyeruput kopiku dan menghisap dalam-dalam rokokku.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

4 komentar:

  1. terima kasih sudah berkunjung...

    BalasHapus
  2. karena takut salah, jadi saya kutip dari KBBI ya mba:

    sa·king p cak kata depan untuk menandai sumber atau sebab; eksesif; krn sangat: ia terdiam -- bingungnya; -- sakitnya, ia menangis sejadi-jadinya.

    BalasHapus