Kepada Malam



Kepada Malam, saya sering menitipkan pemikiran dan kegelisahan-kegelisahan saya tentang hidup. Tentang pekerjaan, tentang percintaan, tentang apa saja yang membuat dahi saya berkerut dan kembali menyeruput bergelas-gelas kopi hitam dan berbatang-batang rokok. Saya membaginya dengan Malam tanpa menutupi apa pun. Saya menelanjangi diri saya di depan Malam, sesuatu yang tidak pernah saya lakukan di depan siapa pun.

Kepada Malam, saya sering manghabiskan waktu untuk mengobrol. Meski terkadang saya sibuk menulis, membaca blog orang-orang atau melihat sosial media. Namun Malam tetap menunggu saya menyelesaikan semuanya, lalu menemani saya mengobrol seperti biasa. Kadang hingga pagi tetapi lebih sering hingga jarum jam menyentuh angka 12, karena Malam selalu mengingatkan saya untuk istirahat dan bekerja keesokan harinya.

Kepada Malam, saya sesekali menangis. Saya tidak pernah merasa malu untuk menangis di hadapannya. Di hadapannya, saya menjadi diri saya sendiri. Sosok lemah yang lebih sering memikirkan hidup tanpa pernah melakukan apa pun. Seseorang yang sibuk tengelam dalam kolam penuh rekaan tanpa pernah berani keluar dan mewujudkannya. Malam tahu, dan ikut menangis menyaksikan itu.

Kepada Malam, saya membagi segalanya. Kepada Pagi, saya hanya membaginya sedikit. Mungkin nanti, saat saya tak lagi bekerja kantoran, saya akan bercerita lebih banyak kepada Pagi. Mungkin...
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar