Lebaran Ini, Aku Pulang.


Aku meletakkan telpon genggamku. Berbaring di atas kasur tipis yang busanya hampir habis. Mataku menatap langit-langit kamar dan pikiranku menembus batas langit-langit itu, mengantarkanku pada sebuah rumah nun jauh di sana. Melihat perempuan tua sedang menyiapkan makanan sahur untuk keluarga. Aku merindukan masakannya dan segala hal tentangnya. Suaranya yang hanya bisa kudengar melalui telpon genggam sedikit mengobati rasa rinduku. Meski suara tetangga tempat ibu meminjam telpon sempat membuatku kesal karena menutupi suara ibu yang pelan.  “Tenang bu, lebaran kali ini aku pasti pulang,” gumamku.

Sudah dua lebaran aku tidak pulang ke rumah. Lebaran pertama, aku baru lulus kuliah dan belum mendapatkan kerja. Pekerjaanku sebagai pramuniaga di sebuah toko baju tentu saja tak kuhitung, gajinya kecil dan  tabunganku selama bekerja sudah kukuras habis untuk membiayai skripsi dan wisudaku. Bahkan aku tak mampu membelikan ibu tiket untuk datang menghadiri wisudaku. Tapi aku tahu,ibu pasti bangga melihatku menggunakan toga.

 Sedangkan, lebaran kedua aku harus dinas di luar kota. Sebagai anak baru, tentu saja aku harus menuruti perintah atasanku dan mengambil tugas seniorku yang juga ingin pulang dan menemui keluarganya.  Aku sedikit kesal sekaligus bersyukur. Uang dinas keluar kota dan lembur selama ini bisa kutabung dan ketika pulang nanti bisa membawa oleh-oleh lebih banyak untuk keluarga.

Aku selalu suka bulan Ramadhan. Bukan karena mendapat baju baru pas lebaran, aku bahkan jarang sekali mendapatkannya. Aku tak pernah mencicipi  hadiah uang saku tambahan jika berhasil menyelesaikan satu hari puasa dan mendapat hadiah lainnya jika berhasil puasa penuh 30 hari. Aku suka Ramadhan karena aku bisa mencicipi banyak makanan saat buka puasa, sesuatu yang jarang sekali aku rasakan.

Ibu bekerja sebagai buruh cuci di rumah-rumah tetangga. Tidak hanya satu, tapi tiga sekaligus. Ibu tak pernah mau menjadi pembantu tetap di satu rumah. Setiap pagi dia mengambil pakaian kotor dari tiga rumah itu dan membawanya pulang. Siang hari, dia akan menyetrika baju yang kemarin dicucinya. Aku membantunya memasukkan areng ke besi hitam yang digunakan untuk menyetrika baju. Mengipas-ngipasnya hingga bara apinya menyala. Kami tak memiliki setrika listrik dan tidak ada keinginan untuk membelinya. Uangnya lebih berharga untuk makan.

Setiap sore,ibu akan mengantarkan pakaian yang sudah licin disetrika. Aku selalu menunggu ibu pulang selesai mengantarkan baju. Bukan karena kangen atau ingin bermanja-manja, di benakku belum ada kosakata itu. Aku menunggunya karena pada bulan puasa, ibu akan membawa makanan yang diberikan oleh majikannya. Kadang kolak, kadang gorengan beserta kue-kue manis jajanan pasar atau sebotol sirup warna-warni yang hanya bisa kulihat lewat iklan di tv tetangga. Jika beruntung, ibu membawa semuanya hasil pemberian tiga majikannya.

Jika mendekati lebaran, ibu tak hanya membawa kue tetapi juga baju pemberian majikannya. Tidak selalu baru, biasanya baju bekas yang masih layak pakai. Aku selalu mendapat jatah karena anak majikan ibuku biasanya merengek minta  dibelikan baju baru dan baju lamanya yang tidak muat lagi di lemari pakaiannya diberikan kepadaku.

Sampai hari ini, ibuku masih menjadi buruh cuci. Bukan sekali dua kali aku melarangnya, tapi ibu tak pernah mau dengar.

“Ibu masih kuat nak. Tabung aja uangmu untuk masa depan. Lagian ibu ndak biasa Cuma duduk-duduk di rumah,” begitu jawabannya setiap kali aku menyuruhnya berhenti bekerja.

Ah, betapa aku merindukan ibu. Tidur di pangkuannya selalu menentramkan. Sebentar lagi bu, sebentar lagi aku pulang. Akan kubawakan telpon genggam agar kau tak perlu lagi menumpang di rumah tetangga. Dan akan kubawakan setrika listrik, meski aku tak yakin kamu mau memakainya.




Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

1 komentar: