kamu tak perlu
berusaha apa-apa lagi. Jangan melakukan apa-apa lagi untukku. Aku tahu sebesar
dan sedalam apa sayangmu untukku. Buatku cukup, aku tidak meminta lebih. Tapi
berusahalah untuk hidupmu. Carilah pekerjaan baru, carilah tempat baru untukmu
berlabuh, katamu sore itu.
Kamu tak
pernah tahu, satu-satunya yang diwariskan ibuku adalah sifat keras kepala. Aku tak
pernah menceritakan kepadamu, kepada siapa pun. Ingatan masa kecil membuatku
merasa berdiri di pinggir jurang. Ketika aku bercerita, ketika aku
mengingatnya, aku seperti seseorang yang mendorong tubuhnya sendiri masuk ke
dalam jurang kenangan yang pahit. Butuh waktu lama untuk kembali mencapai
landai. Butuh waktu lama untuk menyebuhkan luka-luka itu.
Aku lelaki
yang marah pada banyak hal. Laki-laki yang menyerah dalam banyak hal. Namun,
untuk sesuatu hal yang kupercayai, aku menjadi begitu keras kepala.
Semenjak suami
ibuku – aku tak ingin menyebutnya ayah- pergi, ibuku mengerjakan apa saja. Bekerja
apa saja demi memenuhi kebutuhan hidupku dan adikku. Ibu mendatangi satu per
satu rumah, menawarkan jasa cuci pakaian. Setelah mencuci dan menunggu pakaian
kering terpanggang sinar matahari, ibu pergi ke pasar, menjadi buruh pengupas
bawang. Ibu pulang dengan membawa upah yang tidak seberapa dan sayuran yang
telah busuk di beberapa bagian. Sayuran gratis yang dibuang para pedagang.
Dalam nasi
yang kami makan, sering aku menemukan kerikil-kerikil kecil. Awalnya, aku dan
adikku merasa heran, bagaimana kerikil bisa termasak dalam nasi kami. Rupanya,
ibu mengambil beras yang tercecer di truk pengangkut karung-karung beras. Butiran-butiran
beras yang terjatuh di atas tanah bercampur dengan kerikil. Dikantonginya beras-beras
itu, dimasukkan ke dalam palastik hitam, dimasaknya untuk kami.
Aku hidup dalam
dua wangi berbeda. Ketika berangkat sekolah, ketika mencium punggung tangan
ibuku, aku mencium aroma sabun cuci murahan. Sabun berbentuk balok-balok kecil
berwarna biru. Lebih awet dan bertahan lama, jelas ibuku ketika kutanya kenapa
tidak menggunakan sabun colek yang lebih harum.
Sepulang sekolah,
aku mengangkat pakaian yang dijemur ibuku. Melipatnya lalu memasukkan ke dalam
keranjang. Ibuku pulang dengan peluh yang selalu menempel di wajah dan bajunya.
Berjalan kaki sepanjang dua kilometer dari pasar menuju rumah. Ketika kucium
punggung tangannya, aroma bawang merah yang masuk dalam hidungku.
Selepas magrib,
tugasku mengipas-ngipas bara dalam setrika besi yang biasa digunakan ibuku
untuk menyetrika pakaian. Setrika berwarna hitam legam itu beratnya mencapai
dua kilogram. Bisa kamu bayangkan, dengan badan letih setelah mengupas bawang
di pasar dan berjalan kaki berkilo-kilo, ibuku masih harus menyetrika pakaian
mengunakan setrika yang berat itu.
Jika kelelahan,
ibuku akan mengambil jeda beberapa menit. Saat itulah aku memijat pundak,
tangan dan kakinya. Ibuku akan membelai lembut kepalaku. Aku sering
membayangkan kepalaku diusap menggunakan sikat pembersih kaki, tangan kasarnya
membelai kepalaku, tetapi kasih sayangnya membuatku lupa dibelai dengan tangan
kapalan itu.
“Kenapa ibu
tidak menikah lagi?” tanyaku setelah memasukkan pakaian ke dalam keranjang yang
esok pagi akan diantarkan ke rumah-rumah pemiliknya.
“Apa kamu
membutuhkan seorang ayah?”
“Nggak. Tapi dengan
adanya lelaki di rumah ini, akan ada yang membantu ibu. Ibu tidak harus memikul
semuanya sendiri.”
“Kamu dan
adikmu akan tumbuh besar dan bisa membantu ibu. Itu cukup, Nak. Ibu tidak ingin
memercayakan lagi hati ibu pada siapa pun.”
Ibu hidup dan
menua dengan satu kepercayaan, dia tidak membutuhkan laki-laki dalam hati dan
rumah tangganya. Dia memilih membesarkan kami dengan tangannya sendiri. Jika
kamu sangat percaya pada satu hal, kamu akan menjadi begitu keras kepala. Seperti
ibu yang percaya dapat membesarkan kalian tanpa bantuan siapa pun, kata ibuku.
Dan aku
percaya, aku masih ingin memperjuangkanmu. Berkali-kali kamu mengatakan cukup
dan memintaku berhenti. Aku tidak ingin menyerah, setidaknya untuk saat ini. Aku
percaya, aku dapat kembali menggapaimu. Sejauh apa pun kamu pergi, aku akan
mengejarmu.
“Tapi, Nak,
jika suatu hari kamu mendapati apa yang kamu yakini salah, jangan pernah
menyesal. Kesalahan dalam hidupmu, memberimu banyak pelajaran berharga. Kamu
hanya perlu membuka mata (hati), banyak sisi baik yang seringkali tertutup
amarahmu.”
Jika nanti aku
gagal, tidak berhasil meyakinkanmu, tidak berhasil menggapaimu, aku akan
belajar tidak menyesali keputusanku. Ibuku benar, setidaknya, aku pernah
belajar memperjuangkan seseorang yang sangat aku cintai.