Di kamar sepiAku ingin memelukmu, MatiSebentar lagi, kawanSebentar lagi, katamu
Hujan masih saja menggelontorkan airnya ke bumi, angin kencang yang
mendampinginya perlahan menghilang, menyisakkan rintikan air yang jatuh
sendirian. Deras memang, ramai memang, tapi sebutir tetaplah sebutir, sendiri
tetaplah sendiri meski kamu berada di tengah keramaian. Seperti rintik hujan
yang jatuh satu-satu, kesepian yang datang tak mengenal waktu bisa saja
menemuimu ketika kamu bersama orang-orang terdekatmu.
Aku membuka jendela apartemen yang kusewa beberapa hari. Angin lembut
membawa kepulan asap kopi yang baru kuseduh, memuai asap rokok yang
kehembuskan. Aku mengeluarkan kepalaku, melihat jalan di bawah, lantai delapan,
cukup membuat kepalamu remuk dan mengucurkan darah. Cukup membuat
tulang-belulangmu patah tak beraturan, cukup membuatmu mati sebelum dilarikan
ke rumah sakit.
“Jangan, terlalu heboh. Bukan gayamu,” kata suara di belakangku.
Bukan, bukan di belakangku, tetapi di kepalaku. Suara yang tidak
berwujud, suara yang membisikkanku agar tidak melompat. Aku menarik kepalaku
seketika dari jendela yang terbuka, mengurungkan niat menjatuhkan diri.
Aku meraih tas hitam, mengambil sebundel kertas. Tulisan-tulisan yang
tidak pernah kukirimkan kepadanya. Tulisan-tulisan yang sengaja kusimpan rapat-rapat darinya. Ada
namanya di halaman kedua agar siapa pun yang menemukannya tahu, tulisan ini
diperuntukkan baginya. Di halaman pertama kutulis, “Mengumpulkan Bahagia”.
Aku membaca ulang, mencoret beberapa bagian yang kuanggap berlebihan. Typo,
kubiarkan begitu saja. Dia tahu, aku malas mengubah tulisan yang seringkali
salah dalam penulisan huruf. Menyulut batang rokok kesekian, keenam puluh
mungkin. Dua hari ini, perutku hanya berisi kopi dan rokok. Pikiran tentangnya
membuat lapar hilang dalam hidupku.
“Sudah waktunya, Kawan,” katanya lagi.
Aku meletakkan sebundel kertas itu di atas meja. Mengambil kopi Toraja
pemberiannya. Peristiwa ini harus dirayakan dengan sesuatu yang istimewa. Kopi hitam
yang mendingin dan hanya tersisa
separuh, kuletakan begitu saja. Aku menjerang air sambil menyanyikan lagu-lagu
sendu kesukaanku. Menuangkan air yang mendidih di atas bubuk kopi, mengaduknya,
menambahkan sedikit gula, mengaduknya lagi.
Harum kopi memenuhi sesisi ruangan. Sambil menunggu panasnya berkurang,
aku menutup jendela dan membiarkan gorden tetap terbuka. Mematikan lampu. Mengambil
cairan dalam tas yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari. Kumasukkan dalam kopi dan mengaduknya. Menekan
puntung rokok pada asbak, membunuh bara yang masih menyala. Mengeluarkan satu
batang lagi, menyulutnya lagi.
Aku duduk di ujung kasur, meminum kopi pemberiannya, menikmati rokok
yang dibencinya.
Mati datang menghampiriku, memintaku berbaring, menatap langit-langit
kamar. Tangan-tangan dinginnya memelukku. Bukan kehangatan yang diberi
kekasihku. Pelukannya semakin kuat, membuatku sesak, membuatku muntah. Perutku terasa
ditusuk-tusuk, tetapi tangan kuatnya memintaku tetap berbaring. Menyambut perjalanan
baru dalam rebah yang resah.
Perpisahan yang sunyi. Di kamar yang sepi. Lelaki sepi.
0 comments:
Posting Komentar