Jejak-jejak yang susah payah kamu hapuskan


Perempuan itu masih berdiri di pantai, tubuhnya sedikit dimiringkan, kepalanya menengok ke belakang, memerhatikan jejak-jejak kakinya yang terhapus air. Dia diam cukup lama sebelum melangkah, menengok ke belakang dengan posisi serupa, seperti memastikan tidak ada jejak kakinya yang tidak terhapus buih-buih ombak.
Tangan kanannya meraih ranting pohon yang dibawa anak-anak ombak. Menuliskan beberapa huruf, mengejanya perlahan, mencoretnya berkali-kali. Tangan kanannya yang memegang ranting bergerak cepat, seperti pemain pedang andal yang ingin membunuh lawannya. Kali ini, lawannya hanya sebuah nama yang ditulisnya sendiri. Yang mengekal di kepalanya, yang ingin dibunuhnya.
Tangan itu terus bergerak, hingga air laut pasang datang, menghapus huruf-huruf yang belum selesai dicoret-coretnya.
“Bahkan, menghapus namamu saja, aku membutuhkan ombak. Lantas bagaimana mengeyahkanmu dari pikiranku,” gumamnya pelan.
Perempuan itu melorohkan tubuhnya di atas pasir. Membiarkan anak-anak ombak menyentuh kakinya. Mematahkan ranting menjadi beberapa bagian, melemparnya ke laut. Satu potongan kayu, satu huruf yang keluar dari mulutnya. Dia masih berusaha melempar semua kenangan tentang seseorang. Usaha yang sia-sia. Kepalanya masih menyimpan begitu banyak tentang orang itu. Kepalanya, masih saja menggaungkan nama yang sama setelah perpisahan merenggut hubungan mereka bertahun-tahun lalu.
Dia merebahkan tubuhnya, membiarkan pasir putih menyentuh tubuhnya, membiarkan anak-anak ombak menyentuh tubuhnya. Kaki-kaki anak ombak yang kecil tak mampu menjangkau kepala sang perempuan.
Tangan-tangan air pasang mulai menyentuh tubuhnya. Perlahan-lahan terus memanjang, menyentuh kepalanya. Di kepalanya, masa lalu memutarkan film kenangannya dengan kekasihnya. Tanpa iklan, tanpa jeda.
Dia ingin mengubah isi kepalanya seperti layar televisi nasional, ketika iklan tayang lebih panjang daripada film yang sedang diputarkan. Namun, dia sadar, kepalanya hanyalah bioskop tua yang memutar film tanpa jeda dengan gambar dengan kualitas buruk.
“Bisakah kamu menarikku lebih jauh, aku ingin tenggelam bersama kenangan tentangnya,” gumam perempuan itu pada air pasang.
Perempuan itu melemaskan seluruh tubuhnya. Menyerahkan segala yang tersisa pada laut, membiarkan dirinya terbawa air dan tenggelam di dasarnya. Air membawanya terus menjauh dari bibir pantai, membawanya pelan, menuju tempat yang dia rindukan.
Ombak besar menghantam tubuhnya. Dia tidak melawan, tidak berusaha keluar dari terjangan ombak. Dia membuka matanya, sosok laki-laki yang dicintanya tepat berada di depannya. memeluknya, merengkuhnya erat.
“Belum waktunya. Tetaplah berjalan. Jika kamu merindukanku, datanglah ke pantai. Aku menjelma ombak, menjelma laut. Kamu hanya perlu berenang dan aku akan memelukmu. Kamu hanya perlu duduk di pantai, akan kunyanyikan suara merdu ombak untukmu.”
Perempuan itu tersadar, menggerak-gerakkan kakinya, mendorong tubuhnya. Menggunakan seluruh tenaganya berenang menuju pantai. Di bibir pantai, dengan wajah pucat, dia melihat wajah kekasihnya. Dalam ombak yang besar, dalam laut yang tenang.
Dia tahu, kekasihnya selalu ada. Kekasihnya menjelma apa saja. Menjelma apa yang dilihatnya. Dia sadar, dirinya tak pernah sendiri.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar