sebatas


Ketika kanak-kanak, cinta hanya sebatas candaan di lorong sekolah. Coretan-coretan di papan tulis sebelum guru datang dan menghapusnya. Coretan-coretan di lantai sekolah, di kamar mandi gelap yang berbau pesing. Kamu pulang dengan perasaan senang yang ditutup-tutupi, sesekali melirik seseorang yang namanya selalu dikaitkan denganmu. Hanya sekilas, hanya beberapa detik, dan melangkah pulang dengan membawa senyum tiada henti.
Sesampainya di rumah, kamu akan mematut diri. Anak sepupu misalnya, kelas satu sekolah dasar. Sepulang sekolah, dia selalu datang ke rumahku. Meminta minyak rabut, meminta disisirkan rambutnya seperti gaya rambutku. Kenapa om bisa keren, tanyanya ketika mematut di depan kaca. Kukatakan jurus rahasia, sederhana saja, potong sisi kanan dan sisi kiri rambutmu satu senti dan biarkan bagian atasnya sedikit memanjang. Pertama sisir ke belakang lalu sisir ke samping.
Dia tersenyum melihat rambutnya dengan tampilan baru. Berjalan cepat keluar rumah, menuju sepedanya. Mau ketemu siapa, kataku dengan setengah berteriak. Pacarku doang, satu kelas denganku, katanya dengan nada yang tidak kalah kencang. Aku tersenyum melihatnya, cinta sudah datang sedini ini. Sepagi ini, di usinya yang bahkan belum genap tujuh tahun.
Ketika remaja, cinta sebatas pada surat-surat yang dititipkan sebelum masuk sekolah. Menunggu di gerbang ketika bel pulang berdenting, berjalan kaki menyusuri rumah yang cukup jauh. Menikmati semangkuk bakso dan sebotol teh dingin. Berdiri di pagar rumah, menatap kekasih yang melangkah masuk meninggalkannya. Kamu pulang dengan wajah tersenyum dan tidak sabar menunggu hari esok, di mana kamu dapat bertukar surat dan menunggunya di gerbang sekolah.
Mengingatnya, membuatku mendadak merasa tua. Barangkali, surat-surat panjang, bertukar buku catatan, tidak lazim digunakan saat ini. Ada telepon genggam, kamu bisa mengirimkan pesan-pesan, mendengarkan suaranya, menatap wajahnya melalui aplikasi video call.
Ketika dewasa, cinta menjelma kehilangan dan kesedihan. Impian-impian yang kamu bangun, harapan-harapan yang kamu sirami, harus pupus di tengah jalan, sebelum bangunan impian itu rampung, sebelum tunas harap itu tumbuh menjadi pohon rindang. Kehilangan menjadi hal yang begitu menyakitkan. Kehilangan, bahkan membuat seseorang tidak berani menitipkan sebagian hatinya pada orang lain.
Ketika kamu menemukan orang yang tepat, kehilangan tiba-tiba saja menguap. Ketakutan terbawa angin bahagia, pergi dalam jangka waktu yang lama.
Namun kamu tahu, tidak ada rumus pasti dalam hidup. Tidak ada kalkulasi dalam hidup. Kamu tidak pernah benar-benar mahir menghitung segala kemungkinan yang terjadi di depan. Kamu hanya mampu menerka-nerka dan pada akhirnya, hidup memberimu kejutan, entah bahagia atau nestapa.
Setiap kita, memilih cerita yang ingin kita tulis. Memilih plot, menentukan subplot. Memilih karakter tokoh kekasih, menentukan karakter teman yang sesuai dengan pilihan kita. Tapi kita sering lupa, kehidupan kita tak sepenuhnya ditulis seorang diri. Hidup kita tersusun dari cerita-cerita orang lain, yang bersinggungan dan tidak pernah bersinggungan dengan kita.
Bagiku, cinta sebatas harap yang hanya mampu kusirami setiap hari. Aku tidak pernah tahu, apakah harap itu akan bertumbuh atau mati. Aku tidak benar-benar mengerti, jalan apa yang akhirnya menuntun langkah-langkahku ke depannya. Ingin rasanya kukatakan pada dunia, cukuplah kehilangan, cukuplah kesedihan. Aku telah menemukan orang yang tepat, biarlah aku menjalani hidup bersamanya.
Tapi kemampuanku hanya sebatas menyirami tunas harap, aku tidak dapat menentukan hasilnya seperti apa, akankah tumbuh subur dan berbunga atau layu. Mati.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar