Barangkali kamu tak mengingat apa-apa. Tak apa. Tak ada kewajiban bagi kita merawat pohon kenangan. Aku ingin merawatnya, meski kutahu, luka akan tumbuh subur bersama pohon kenangan yang kian tumbuh besar di hati dan kepalaku. Seseorang selalu membutuhkan tempat singgah bahkan setelah menemukan rumah untuknya pulang. Kamu, rumah paling nyaman, memberi kehangatan, memberi rasa tentram. Caramu melihat, tak seperti kebanyakan orang yang hadir dalam hidupku. Jernih. Caramu mendengarkan selalu berhasil membuatku mengeluarkan kata-kata [.....]
Di balkon lantai dua, kopiku mendingin dihajar udara malam. Dengan mata yang tetap terjaga, kulihat langit yang keruh, berisi bintang-bintang redup yang hendak jatuh. Hening, malam menelan suara-suara manusia, hanya bunyi kendaraan dari kejauhan, bunyi tiang listrik yang dipukul petugas ronda. Sebentar lagi, dunia tak akan sama. Sesaat lagi, kita tak menjadi siapa-siapa, tak berarti apa-apa. Bintang jatuh, seperti biasa, selalu tergesa-gesa. Ekor mataku yang menangkapnya. Aku ingin berdoa, ingin meminta, dan sekali [.....]
Aku belum pernah berhadapan dengan kematian, belum pernah melihat malaikat maut, tapi kupastikan, wajah lembut yang berkeriput didera waktu, wajah perempuan tangguh yang ditempa kalut puluhan tahun, wajah yang memandangimu dengan mata berkaca-kaca, sudut mata yang basah, tapi ditahan agar tak tumpah, mampu mencerabut nyawamu dari jasadmu. Wajah perempuan yang melahirkanku, menatapku dengan sendu, hatiku hancur seketika. Jemari tangannya menguning, aroma kunyit menyeruak dari sana. Tangannya basah diselimuti wudhu yang tak pernah dibiarkan [.....]
“Dia akan datang pada setiap kesempatan yang dia punya. Dia akan datang, aku yakin dia ingin datang, hanya saja tidak sekarang, bukan sekarang, tapi dia pasti datang.” Tapi dia tidak datang, sekarang, kemarin, kemarin lagi, sebulan, setahun, bertahun-tahun lalu, dia tidak pernah datang. Ingin sekali kuucapkan kalimat itu kepadamu, ingin sekali aku meneriakkannya tepat di depan wajahmu agar kamu sadar, dia tidak akan datang, tidak hari ini, esok, lusa, sebulan, setahun, dan kamu [.....]
Aku lahir dan dibesarkan sepi. Pada usiaku yang masih balita, aku telah dikenalkan arti sepi sesungguhnya. Seperti halnya keluarga-keluarga sederhana lainnya, kedua orangtuaku bekerja di pasar, aku dititipkan pada nenekku, perempuan tangguh yang ditinggal mati suaminya puluhan tahun. Di depan rumah sederhana, dia menjajakan makanan ringan di atas meja, menggantung plastik berisi air di atasnya guna mengusir lalat-lalat, namun matanya tetap awas mengamatiku yang tidak pernah bisa diam. Aku lupa bagian ini, ingatan tentang masa kecilku perlahan tenggelam ditindih ingatan baru. Nenek [.....]