Aku lahir
dan dibesarkan sepi. Pada usiaku yang masih balita, aku telah dikenalkan arti
sepi sesungguhnya. Seperti halnya keluarga-keluarga sederhana lainnya, kedua
orangtuaku bekerja di pasar, aku dititipkan pada nenekku, perempuan tangguh
yang ditinggal mati suaminya puluhan tahun. Di depan rumah sederhana, dia
menjajakan makanan ringan di atas meja, menggantung plastik berisi air di
atasnya guna mengusir lalat-lalat, namun matanya tetap awas mengamatiku yang tidak
pernah bisa diam.
Aku lupa
bagian ini, ingatan tentang masa kecilku perlahan tenggelam ditindih ingatan
baru. Nenek kerap menceritakannya berulang-ulang padaku, betapa tidak bisa
diamnya diriku dan selalu membuat gaduh. Bekas luka di pelipis kananku sebagai
bukti kenakalanku waktu itu, luka itu masih ada hingga saat ini.
Masa
remajaku pun diisi sepi. Gemar kabur dari sekolah tidak membuatku akrab dengan
teman-teman yang sering menongkrong di warung saat jam pelajaran berlangsung.
Aku memilih duduk di pojok, merokok seorang diri atau membaca buku hasil curian
dari perpustakan sekolah.
Dan, seperti
cerita-cerita sebelumnya, kisah hidupku hanya serangkaian cerita murahan yang
monoton dan mudah ditebak, sepi selalu menemaniku. Jika sepi menjelma manusia,
kupikir dia satu-satunya kawan yang kumiliki dan aku tak pernah berniat
kehilangannya.
Sepi itu
baik, begitu pikirku. Jika kamu membaca novel-novel karangan Haruki Murakami,
dengan mudahnya kamu menemukan tokoh penyendiri. Pengarang Jepang yang dianggap
berkiblat ke Barat sebagai insipirasi dari tulisan-tulisannya itu seolah
berkata kepada pembacanya; sendiri itu baik, sepi itu baik, dan di dunia yang
sejak awal di-setting tidak adil ini, banyak orang yang menjalani
hidupnya sendiri. Jadi, meski kamu sendiri, kamu tidak pernah benar-benar
sendiri.
Namun akan
berbeda jika sepi berubah menjadi kesepian. Kesepian tidak mengenal waktu dan
tempat, dia datang kapan saja, menyerang kapan saja. Kamu bisa merasa kesepian
di tengah kerumunan massa sekali pun. Jika sepi membuatmu tenang, kesepian
membunuhmu perlahan-lahan dan dunia tidak lagi nyaman untuk ditempati.
Tapi hidup
terkadang bergerak seperti yang di katakan motivator di televisi atau kata-kata
bijak yang kamu temukan di media sosial “hidup adalah serangkaian kejutan” dan
itu terjadi dalam hidupku. Hidup berhasil mengejutkanku. Plot hidupku yang
datar dan tidak nyaman jika seseorang membacanya, berubah total. Tokoh baru
dalam cerita hidupku memberi warna dan mengubah jalan cerita yang itu-itu saja.
Kehadirannya
tidak tiba-tiba, tidak membuat wajahmu merona pada pertemuan pertama atau
jantungmu berdetak lebih kencang dari biasanya, perut yang tiba-tiba mulas
seperti ada seekor kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya dan kamu mulai percaya,
kamu telah jatuh cinta.
Surat
elektronik darinya telah dikirimkan beberapa bulan lalu, anehnya, aku tidak
menyadarinya. Begitu pun kehadirannya di blog serta akun sosial mediaku, aku
tak pernah menyadari kehadirannya. Lalu, pada malam hari, di tengah obrolan
bersama teman-teman, sebuah pesan singkat masuk. Dari sanalah tokoh ini benar-benar
masuk ke dalam hidupku.
Dan cerita
ini berlanjut seperti yang kalian baca di blog-blog sendu – aku salah satunya –
tidak ada hari tanpa pesan-pesan singkat dan malam terasa lebih panjang dari biasanya.
Ada jeda beberapa hari saat kami tak saling menghubungi. Sederhana saja, aku
tengah sibuk dikejar deadline majalah, dia sedang melakukan perjalanan
dan berpuasa komunikasi dengan siapapun.
“Bagaimana
rasanya jadi kamu?” tanyanya suatu hari ketika kuceritakan padanya bahwa aku
lahir dan dibesarkan sepi.
Tidak ada
yang istimewa, kecuali aku tidak mudah bertemu dan akrab dengan orang baru
serta tidak pandai berteman dengan orang lain. Jika dipikir-pikir, temanku
tidak lebih dari jumlah jari di kedua tanganku dan aku merasa tidak kekurangan
atau merasa sedih akan hal itu.
Aku pamit
sebentar dan akan mengunjungimu nanti, kata sepi kepadaku saat aku dan tokoh
ini memutuskan berpacaran. Dan benar saja, sepi tidak terlihat lagi di
sekelilingku. Datangnya tokoh ini ke dalam hidupku dan menjelma kekasihku, sepi
tak pernah lagi terlihat batang hidungnya. Hari-hariku bergerak tanpa sepi,
malam-malamku selalu diisi dengan percakapan-percakapan panjang.
Namun sepi
tiba-tiba datang kepadaku, mengangetkanku. Kupikir, ia akan datang seperti
seorang teman lama yang tidak berjumpa puluhan tahun, singgah ke rumahku dan
menghabiskan bergelas-gelas kopi serta berpuluh-puluh batang rokok semalam
suntuk lalu pergi keesokan harinya. Nyatanya, sepi datang lebih cepat dari perkiraanku.
Bukan saja singgah, dia datang untuk menetap dalam hidupku. Beberapa hari
setelahnya aku baru menyadari arti kehadirannya lagi dalam hidupku, aku dan
tokoh ini berpisah. Memilih menjalani sisi hidup kami yang lain, sisi hidup
tanpa kehadiran masing-masing.
Aku sering
berharap, sepi akan datang saat usiaku telah beranjak senja. Istriku telah
meninggal, anak-anakku telah besar dan berkeluarga. Mereka jarang mengunjungiku
karena kesibukannya dan sepi datang tergesa-gesa menemuiku. Menemaniku duduk di
teras rumah pada pagi hari, menikmati secangkir kopi tanpa gula sambil membaca
koran. Menemaniku saat hantu-hantu kenangan menghantui malam-malamku.
Sepi datang
terlalu dini, membawa serta kesepian bersamanya.
Kesepian adalah
cara terburuk bunuh diri. Dunia tak lagi nyaman untuk ditempati. Aku
merasakannya saat ini.
note;
Mengenai
tokoh ini, aku tidak ingin menghapusnya. Kehadirannya tetap saja memberi warna
dalam hidupku. Semoga dia baik-baik saja dan berbahagia.