Permintaan yang Tak Bisa Kutolak


Aku belum pernah berhadapan dengan kematian, belum pernah melihat malaikat maut, tapi kupastikan, wajah lembut yang berkeriput didera waktu, wajah perempuan tangguh yang ditempa kalut puluhan tahun, wajah yang memandangimu dengan mata berkaca-kaca, sudut mata yang basah, tapi ditahan agar tak tumpah, mampu mencerabut nyawamu dari jasadmu. Wajah perempuan yang melahirkanku, menatapku dengan sendu, hatiku hancur seketika.
Jemari tangannya menguning, aroma kunyit menyeruak dari sana. Tangannya basah diselimuti wudhu yang tak pernah dibiarkan hilang dari tubuhnya. Tangan itu yang kini memegang tanganku, mengusap-usap lembut punggung tanganku. Tangan yang membesarkanku, memasak puluhan tahun di dapur rumah, mencuci, menyetrika, dan memelukku dengan bangga ketika hari kelulusan meski nilaiku tak seberapa.
“Mama sering masuk rumah sakit, akhir-akhir ini semakin sering aja. Mama khawatir tak sempat melihatmu menikah, tak melihat menantu Mama merawatmu kelak. Sudah ada seseorang, Nak?”
Jika orang lain yang bertanya, aku akan menjawab seadanya. Menghalau tatapan penuh tanya dari keluarga besar bukan hal sulit bagiku. Aku tak pernah terbebani dengan pertanyaan semacam itu. Dan untuk kali pertama, mama bertanya padaku. Dia selalu menjadi orang pertama yang melindungiku dari pertanyaan-pertanyaan keluarga besarku. Perempuan bersahaja yang menjadi benteng untuk melindungi anak-anaknya.
Hatiku dipenuhi satu orang. Satu nama yang tidak pernah memudar dari kepalaku. Aku pernah memintanya menjadi pendamping hidupku. Dia perempuan pertama yang membuatku berani melangkah sejauh ini, perempuan yang membuatku yakin akan pernikahan. Perempuan yang membuatku berani bermimpi banyak hal setelah didera kekalahan-kelahan hidup. Perempuan pertama yang kuminta menjadi istriku dan perempuan pertama yang menolak lamaranku.
Aku tak menyalahkannya, juga tak ingin memaksanya. Aku memahami kondisinya dan menghormati keputusannya. Dan masih mencintainya sampai hari ini, sampai esok, dan nanti-nanti.
“Baru putus, Ma, butuh waktu lama mencari penggantinya. Mungkin bertahun-tahun,” jawabku. Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Aku tak ingin membebaninya dengan cerita-cerita kegagalanku melamar perempuanku.
Tangan itu melepas genggamannya dari tanganku, menangkup wajahnya, air mata yang sedari tadi ditahannya agar tak tumpah, kini mengaliri pipinya. Isak yang pelan, tapi jelas terdengar. Sekali lagi, dalam hidup, aku telah menyakitinya. Hatiku tambah sakit rasanya.
“Jangan terlalu lama,” katanya, pelan, seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Umurmu sudah cukup, Nak. Jika kamu mau, Mama bica carikan untukmu, banyak gadis baik yang Mama kenal.”
Hatiku belum sembuh benar, lukaku belum mengering sepenuhnya. Kepala dan hatiku masih berisi satu nama dan aku masih mengharapkannya. Aku memang tidak pernah memintanya lagi, bukan aku tak mencintainya lagi, aku hanya tak ingin mengganggu kehidupannya. Aku selalu memegang prinsipku; memperjuangkan orang yang kita cintai itu baik, tetapi jika itu membuat orang yang kita sayangi terganggu, aku akan memilih diam.
Aku ingin menemukan dan ditemukan. Menemukan seseorang yang kubutuhkan, bukan sekadar kuinginkan. Aku ingin ditemukan seseorang yang membutuhkanku, bukan sekadar menginginkanku. Kupikir, butuh waktu lama menemukannya. Mungkin setahun, dua tahun, bertahun-tahun, atau mungkin aku tak akan menemukannya dan menghabiskan hidupku sendiri saja.
Aku ingin mengatakan semua hal yang ada di kepalaku. Menceritakan perempuanku kepada mamaku, namun bibirku kelu.  Aku tak ingin melihat air matanya jatuh lagi, cukup sudah aku menyakitinya. Dalam hidup singkat ini, aku ingin melihatnya bahagia, membahagiakannya.
“Aku sedang tidak mencari, tapi kalau Mama pilihkan, aku menyetujuinya. Aku percaya, pilihan Mama baik untukku. Aku akan menerimanya dengan senang hati.”
Mungkin aku tidak bisa menikahi perempuan yang kucintai, tapi aku akan membahagiakan perempuan yang kunikahi.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar