Di balkon
lantai dua, kopiku mendingin dihajar udara malam. Dengan mata yang tetap
terjaga, kulihat langit yang keruh, berisi bintang-bintang redup yang hendak
jatuh. Hening, malam menelan suara-suara manusia, hanya bunyi kendaraan dari
kejauhan, bunyi tiang listrik yang dipukul petugas ronda. Sebentar lagi, dunia
tak akan sama. Sesaat lagi, kita tak menjadi siapa-siapa, tak berarti apa-apa.
Bintang
jatuh, seperti biasa, selalu tergesa-gesa. Ekor mataku yang menangkapnya.
Aku ingin berdoa,
ingin meminta, dan sekali saja, aku tak ingin mendapat jawaban tidak. Aku ingin
bersamamu, perempuanku. Sebentar saja, saling memeluk, saling menggenggam.
Diam, duduk dengan tenang. Tak perlu pergi lagi, tak perlu bersembunyi lagi.
Sebentar saja, tak perlu selamanya. Aku mencintaimu dan jika waktu untukku
hanya sementara, itu pun tak apa. Jika lukaku tak akan sembuh selamanya, itu
pun tak apa.
Aku ingin
menukar seluruh bahagia dengan pertemuan singkat kita.
Sayangnya, setelah
perpisahan yang merenggut percakapan-percakapan, aku tak pernah tahu kabar
tentangmu. Aku merindumu dan berharap kamu bahagia.
0 comments:
Posting Komentar