Barangkali kamu tak mengingat apa-apa. Tak apa. Tak ada kewajiban bagi kita merawat pohon kenangan. Aku
ingin merawatnya, meski kutahu, luka akan tumbuh subur bersama pohon kenangan
yang kian tumbuh besar di hati dan kepalaku.
Seseorang
selalu membutuhkan tempat singgah bahkan setelah menemukan rumah untuknya
pulang. Kamu, rumah paling nyaman, memberi kehangatan, memberi rasa tentram. Caramu
melihat, tak seperti kebanyakan orang yang hadir dalam hidupku. Jernih. Caramu mendengarkan
selalu berhasil membuatku mengeluarkan kata-kata yang seringkali harus kutahan
agar tak kuungkapkan. Hatimu seperti pintu tanpa kunci, selalu terbuka bagi
orang-orang yang kausayangi, katamu padaku.
Matamu seperti
pohon rindang yang meneduhkan, terkadang tajam seperti pedang. Kalimat-kalimat
yang keluar dari mulutmu mencerminkan hati dan kepalamu. Kamu mengungkapkan apa
yang ada di kepalamu. Kamu mengucapkan apa yang hatimu rasakan tanpa takut
membuat orang lain terluka dan seringkali membuat orang lain terluka. Tapi,
kamu selalu ada, ketika satu per satu pesinggah pergi, ketika orang yang kamu
cintai memilih pergi, kamu belajar melepasnya dan menerimanya singgah di hatimu
seperti tak terjadi apa-apa, katamu lagi.
Kepalamu seperti
batu, keras dan pandir. Kamu berjuang seolah tak mengenal kata cukup,
memperjuangkan cinta tanpa mengenal kesia-siaan. Kepalamu, naif adanya. Betapa bodohnya
dirimu dikalahkan cinta dan itu justru yang membuatmu istimewa. Kamu terlahir
mencintai seseorang dengan tulus meski tak ada cinta yang benar-benar tulus
untukmu. Kamu, lelaki terbodoh yang pernah kutemui dan aku membencimu setengah
mati. Kuharap kamu mati muda agar tak hidup dengan ilusi cinta dan tak dibodohi
banyak wanita.
Cintamu,
cinta yang tabah. Dipenuhi luka-luka. Anehnya, kamu selalu berhasil percaya,
ada cinta yang baik untukmu.
*Mengenang kematianmu. Jika doamu
dikabulkan, kita akan berjumpa dalam waktu dekat
0 comments:
Posting Komentar