Jika mencintai adalah sebuah sandiwara, kita memainkan peran dengan cara yang buruk Masing-masing dari kita adalah protagonis dalam hidup kita. Seperti kau tahu, protagonis merupakan sebutan bagi tokoh utama dalam sebuah cerita. Tak melulu baik, tak melulu jahat. Protagonis bisa saja menjelma malaikat baik hati atau menjelma penjahat paling keji. Masing-masing kita menentukan peran yang kita pilih. Hidup tentu tak membiarkan kita sesuka hati merencanakan cerita seperti yang kita mau. Kamu mengenal harapan dan tak semua mewujud menjadi kenyataan. Kita seringkali membunuh [.....]
angin bertiup kencang, menggoyang daun-daun di pepohonan, menerbangkan daun-daun yang gugur. ada yang jatuh ke tanah, ada yang menerpa wajahku sebelum kembali diterbangkan angin lalu jatuh. gemericik air, suara burung, matahari yang teduh diselimuti awan hitam. di atas hamparan bunga-bunga liar, aku melihatmu. berdiri mematung, menatapku. senyum yang kurindukan. aroma tubuh yang tak pernah bisa kulupakan. kakiku melangkah, satu-satu, tak terburu-buru. menujumu. menuju pelukan hangat yang telah lama tak kurasakan. “ayo pulang,” katamu [.....]
Dia terus berjalan dengan satu tujuan; menemukan jawaban-jawaban yang menghantui alam pikirnya. Mengusik malam-malamnya, membangunkannya dari tidurnya yang tak pernah nyenyak. Menggerogoti harap hidupnya. Siang tak pernah lebih baik dari malam yang buruk. Langkahnya tak pernah tergesa-gesa karena setiap langkahnya hanya menambah beban penyesalan yang menempel di pundaknya semakin berat. Dia percaya karma. Dia memercayainya melebihi kepercayaannya akan tuhannya. Semesta yang mengatur karma, bukan tuhan. Dia terus percaya, melukai seseorang akan diganjar luka-luka [.....]
Langkahnya tergesa-gesa dikejar air yang jatuh satu-satu dari langit. Belum deras benar saat kakinya berdiri di depan sebuah kafe. Bagian atas tasnya basah, menutupi kepalanya dari air yang tumpah dari sekumpulan awan hitam. Dikibaskannya air yang menempel di parkanya, parka kesayangan yang warnanya telah memudar, tapi kenangan yang disimpannya tak pernah benar-benar memudar. Mengekal di kepalanya, mengekal di barang-barang yang dikenakannya, mengekal di benda-benda yang disimpan di kamarnya. Hujan menderas saat tubuhnya mendarat [.....]
Di musim kemarau, hujan datang tergesa-gesa menemuiku. Melalui celah jendela yang sedikit terbuka, hujan masuk tanpa permisi. Kepulan asap keluar dari tubuhnya. Panasnya membuat tubuhku perlahan-lahan menguap, katanya dengan sedikit kesal. Hujan duduk dengan santainya di ujung dipan milikku. Mengambil buku tulisku dan mengipas-ngipasi tubuhnya. Rumah kumuh ini tidak dilengkapi pendingin udara. Tidakkah kau punya kipas angin, Kawan, katanya lagi, menyilangkan kakinya sambil terus mengipas-ngipasi tubuhnya. Air jatuh satu-satu membasahi lantai kamarku. Kupikir cara [.....]