Di musim kemarau,
hujan datang tergesa-gesa menemuiku. Melalui celah jendela yang sedikit
terbuka, hujan masuk tanpa permisi. Kepulan asap keluar dari tubuhnya. Panasnya
membuat tubuhku perlahan-lahan menguap, katanya dengan sedikit kesal.
Hujan duduk dengan
santainya di ujung dipan milikku. Mengambil buku tulisku dan mengipas-ngipasi
tubuhnya. Rumah kumuh ini tidak dilengkapi pendingin udara. Tidakkah kau
punya kipas angin, Kawan, katanya lagi, menyilangkan kakinya sambil terus
mengipas-ngipasi tubuhnya. Air jatuh satu-satu membasahi lantai kamarku. Kupikir
cara terbaik dengan mengambil ember dan menampung tubuh hujan yang mulai
mencair, tapi kuurungkan. Ibuku akan heran mendapatiku mengambil ember dan
membawanya ke dalam kamarku.
Lihat, Kawan,
tanah-tanah yang retak dihajar kemarau. Ayahmu tidak dapat memanen hasil jerih
payahnya berbulan-bulan. Dia hanya bisa diam dan membiarkan padi-padimu mati
sebelum dituai. Merelakan tanaman di ladangmu mati sebelum dipetik. Kemiskinan tak
ubahnya burung pemakai bengkai, menunggu keluargamu mati kelaparan lalu melahap
semua harapan. Kesedihan sedang merangkai jaring-jaringanya di atap rumahmu,
perlahan-lahan akan menutupi seluruh rumahmu.
Tanaman cabai, tomat,
dan bunga di pekarangan rumahmu telah layu, sebentar lagi mati. Ibumu akan
sedih melihatnya. Kamu harus berjalan kaki berkilo-kilo meter hanya untuk
mendapatkan dua ember air dan harus mengantre berjam-jam untuk mendapatkannya. Atap
sekolahmu yang terbuat dari seng seperti wajan pada siang hari, membakarmu dan
teman-temanmu. Dinding-dinding yang retak kan roboh menimpamu atau setidaknya
membuatmu tak lagi bisa mencicipi sekolah.
Bersamaku, tanah-tanah
retak akan kembali subur. Ayahmu dapat memanen tanamannya. Ibumu akan kembali
ceria melihat tanamannya kembali berbunga. Kamu tak perlu berjalan berkilo-kilo
meter, cukup menimba dari sumurmu di belakang rumah. Aku hadir mengusir
kesedihan, Kawan.
Hujan seperti seorang
nenek yang bawel, terus bercerita tanpa diminta dan tak menerima sanggahan. Kepala
bocahku membayangkan wajah bahagia bapakku yang sedang memanen di sawah dan
ladang. Wajah ibuku yang sedang memetik cabai dan tomat untuk memasak sore
hari. Aku bisa bermain bersama teman-teman tanpa harus menempuh berkilo-kilo meter
hanya untuk mendapatkan air yang bahkan tak cukup untuk mandi.
“Apa yg harus
kulakukan, Tuan Hujan?” tanyaku.
Aku sengaja
memanggilnya dengan sebutan tuan untuk mengambil simpatinya. Aku pernah melihat
adegan seorang anak miskin yang berusaha mengambil simpati dari seseorang yang
congkak di layar televisi milik tetanggaku. Hujan memiliki kesombongan dan
orang yang sombong mudah ditaklukkan. Cukup dengan pujian.
“Katakan pada bapakmu,
kumpulkan seluruh warga. Datang ke pematang sawah sambil menabuh tampah. Bakar
tanaman padimu yang mati. Terus seperti itu dan aku akan datang menemui kalian.”
Kukatakan kepada
bapakku, di dalam mimpi aku mendengar suara-suara yang memerintahkan seluruh
warga desa menabuh tampah dan membakar padi yang telah mati. Jika kukatakan
hujan datang ke kamarku dan menyuruhku melakukan hal ini, bapakku akan
menganggapku mengada-ngada, khalayan bocah yang malas membantu ibunya mengambil
air untuk kebutuhan keluarga.
Di siang yang terik, warga
berdiri di atas tanah yang retak. Memukul tampah tanpa henti. Membakar padi-padi
yang telah mati. Berteriak meminta hujan. Namun hujan tak kunjung datang bahkan
setelah seluruh warga mulai kepayahan. Satu per satu pulang, harapan mereka
menguap dibakar panasnya matahari. Aku bersembunyi di balik pohon besar, malu
karena hujan telah membohongiku.
Kurasakan tepukan di
bahuku, Hujan tengah tertawa di belakangku. Sialan, si pembohong di belakangku,
ucapku dalam hati. Hujan masih saja tertawa. Kudorong tubuhnya lalu pergi
meninggalkannya. Hujan memegangi pundakku. Pemandangan ini membuatku bahagia,
aku datang, Kawan, katanya. Air jatuh, pelan lalu menderas. Membasahi tanah-tanah
yang retak, membasahi harapan yang layu.
Hujan datang setiap
hari seolah tak mengenal kata cuti. Ada kalanya
hujan datang berkali-kali dalam satu hari, bahkan sesekali menyirami sepanjang
hari. Hujan benar, aku tak perlu lagi berjalan jauh untuk mendapatkan air. Sumurku
penuh, aku hanya perlu menimbanya saja. Tapi hujan tak mengatakan, kedatangannya
yang terus-menerus membuat sawah serta ladang tergenangi air dan tak bisa
digunakan. Sungai meluap, arus derasnya merobohkan jembatan, membuatku dan
teman-temanku tak bisa bersekolah. Membuat orang-orang tidak bisa pergi ke
pasar dan bekerja.
Aku ingin memintanya
berhenti, tapi tuan Hujan tak pernah mendatangiku lagi. Dari celah jendela
kamarku, kulihat sosok besar menggunakan payung hitam berjalan menuju kamarku. Kubuka
daun jendela lebih lebar, menunggunya datang. Kupikir Tuan Hujan yang datang,
nyatanya Kemarau.
“Kamu ingin menjebakku
seperti Hujan menjebakku? Tanyaku padanya.”
“Aku hanya ingin
berkunjung dan pamit. Terima kasih, berkatmu aku bisa libur panjang dari
tugasku. Sampaikan pada Hujan, dia bisa mengambil jatahku kalau mau. Setahun
pun tak apa.”
Kemarau pergi dan
kepala bocahku memikirkan banyak hal, apa jadinya jika hujan datang setiap hari
selama 365 hari.
0 comments:
Posting Komentar