sedang rumah jauh di depan sana


Langkahnya tergesa-gesa dikejar air yang jatuh satu-satu dari langit. Belum deras benar saat kakinya berdiri di depan sebuah kafe. Bagian atas tasnya basah, menutupi kepalanya dari air yang tumpah dari sekumpulan awan hitam. Dikibaskannya air yang menempel di parkanya, parka kesayangan yang warnanya telah memudar, tapi kenangan yang disimpannya tak pernah benar-benar memudar. Mengekal di kepalanya, mengekal di barang-barang yang dikenakannya, mengekal di benda-benda yang disimpan di kamarnya.
Hujan menderas saat tubuhnya mendarat di sebuah kursi, meja paling pojok, dekat jendela. Kali ini hujan tak menarik perhatiannya. Matanya terpaku pada kursi di depannya. Seorang pramusaji mengantarkan minuman yang dipesannya, secangkir kopi hitam dan cammomile tea. Diletakkan secangkir teh di hadapannya dan meletakkan kopi hitam di seberangnya, entah untuk siapa. Yang pasti bukan untuk lelaki itu. Lelaki itu telah pergi dan tak mungkin kembali.
Hujan terus menderas ditemani angin kencang, mereka begitu kompak hari ini, pikirnya. Seolah mereka menyetia pada hatinya, tempat badai berkecamuk di dalamnya. Jika seseorang mampir dan berkunjung ke hatinya, dia hanya menemukan puing-puing yang belum sempat dia rapikan. Perempuan itu sengaja membiarkan puing-puing hatinya berserakan dan membuatnya tambah hancur lagi dengan mengunjungi tempat-tempat yang menyimpan banyak kenangannya dengan mantan kekasihnya; kafe ini salah satunya.
Selapis bening yang menutupi matanya pecah menjadi bulir-bulir air, melintasi pipinya yang tirus. Hangat. Asin ketika menyentuh bibirnya lalu jatuh di atas meja. Tangannya ingin segera menghapusnya, menarik ujung kausnya seperti hari-hari lalu saat air matanya jatuh tanpa bisa dia tahan, tapi hati dan kepalanya menyuruhnya diam.
Hujan semakin deras. Air matanya menderas. Hatinya basah kuyup.
Dikumpulkannya semua kenangannya bersama lelaki itu di kafe ini. Kelak, ketika dia duduk di kursi yang sama, memesan minuman kesukaannya, dia berharap tak ada kenangan yang tersisa di sana. Tak ada kenangan yang menempel di kursi itu, aroma tubuhnya yang bercampur udara kota. Tak ada yang tertinggal sedikit pun. Tidak ada.
Kini, dia sedang belajar memungutinya satu-satu dan akan disimpannya di kotak kenangan.
Seperti hujan yang reda, tangisnya pun reda. Dilongok hatinya, badai telah pergi dan menyisakkan serpihan-serpihan yang semakin sulit disatukan. Dia tahu, badai hanya pergi sementara. Ia akan datang lagi, mengoyak hatinya lagi, berkali-kali, hingga dia cukup mampu mengubah sedihnya menjadi bahagia atau sekadar menerima kehilangan. Dan akan berlangsung lama.
Mungkin setahun. Mungkin menahun. Hatinya tak tahu pasti. Kepalanya juga tak jua mengerti. 
Dia menelusuri trotoar yang tergenang air hujan, mengingatkannya akan hatinya yang digenangi air mata. Kesedihan belum sirna sedang rumah masih jauh di depan sana. Kaki-kakinya ingin segera berlari menuju rumah, merebahkan tubuh dan hatinya yang lelah. Dan jika air matanya kembali jatuh, hanya bantal yang menjadi saksinya.
Langkahnya cepat-cepat, menerabas jalan yang digenangi air dan seketika terhenti. Bukan pada rumah yang diinginkannya, tetapi di depan gerobak penjual es goyang. Lagi-lagi dia memesan dua, rasa cokelat dan kacang hijau. Bukan menggilainya, bahkan siapa pun tahu, selepas gigilnya hujan, memakan es bukan perpaduan yang menyenangkan. Tapi kepalanya dipenuhi masa lalu, tentang lelaki itu yang sering mengajaknya mencicipi es goyang.
Lelaki itu memiliki jiwa kanak-kanak dalam dirinya tanpa membuatnya menjadi kekanak-kanakan. Dia memberi makan jiwa kanak-kanaknya dengan menikmati jajanan di sekolah dasar. Menonton kartun, ksatria baja hitam dan menularkannya pada perempuan itu. Dia menularkan banyak hal, lagu-lagu sendu yang diputar berulang-ulang, novel-novel sendu dan gelap.
Es di gengamannya belum mencair, tapi matanya telah dipenuhi air.  Jatuh di tangannya.  
Hangat.
Sedang rumah, masih jauh  di depan sana.



Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar