Matamu menatap layar telepon genggam di atas meja. Tanganmu sesekali menyentuh angka-angka di aplikasi kalkulator, memencet tanda tambah, kurang, bagi, dan sama dengan. Memindahkan hasil perhitunganmu di buku catatan, memasukkan angka tersebut di kolom tabel yang di atasnya tertulis Biaya Hidup Dasar (BHD). Kamu tengah mengkalkulasi kebutuhan dasar hidup kita, memperkirakan apa saja kebutuhan pasangan setelah menikah. Ketika kuserahkan hasil perhitunganku, kamu melihatku dengan tatapan aneh, seolah tak percaya aku telah membuatnya. Aku bertanya kepada teman-temanku yang sudah menikah, kataku, meski kamu belum melontarkan pertanyaan, tapi tatapanmu [.....]
di pintu: Ada kalanya kamu menunggu, ada kalanya aku yang menunggu, membukakan pintu, menyambut dengan senyum. Terkadang aku sengaja membiarkan pintu terbuka karena tak sabar menunggu kepulanganmu. kamu yang menyukai travelling dan aku yang lebih senang menghabiskan waktu di rumah. aku tidak pernah berpikir memenjarakan mimpi-mimpimu. hubungan ini bukan teralis besi yang akan menahan langkahmu, kataku ketika kamu bertanya masih bolehkan kamu melakukan perjalanan seorang diri ke berbagai negara setelah kita menikah. kamu menunggu jawaban dengan cemas setelah melontarkan pertanyaan padaku, batasan apa saja yang tidak boleh [.....]
Aku suka caramu bercerita tentangnya. Hatinya, katamu, seperti rumah impian, muara dari segala impianmu. Kamu memiliki banyak impian, banyak hal yang ingin kamu gapai. Kamu ingin menjejakkan kakimu ke tempat-tempat baru, tapi tempat yang paling ingin kamu tuju adalah hatinya, pulang kepadanya, menetap selamanya di sana. Jika selamanya berarti seumur hidup, seumur hidupmu ingin kamu habiskan bersamanya. Kamu sempat bertanya padaku, apa aku terlalu muda untuk memutuskan menghabiskan sisa umurku hanya dengan satu orang. Aku menggeleng, lantas bertanya kepadamu, apa usia menjadi standar bagi seseorang yang ingin [.....]
Fat mengirimiku sebuah surat yang hampir seluruh isinya bernada penyesalan. Aku bodoh, tulisnya, mengawali isi suratnya. Fat merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. Bertahun-tahun memposisikan diri sebagai rumah untuk seseorang yang bahkan dalam setahun terakhir pun tidak pernah mengunjunginya. Dalam bentuk pesan sekalipun. Fat merasa telah ditipu harapan, meski kemudian ia mencoret kalimat itu dengan tinta merah. Bukan harapan yang menipuku. Aku menipu diriku sendiri, koreksinya dalam surat itu. Kadang-kadang, aku cukup berbesar hati menjadikan diriku sebagai tempat singgah, tempat pelarian pertama ketika ia tidak tahu [.....]