Lain Benua


Aku suka caramu bercerita tentangnya. Hatinya, katamu, seperti rumah impian, muara dari segala impianmu.
Kamu memiliki banyak impian, banyak hal yang ingin kamu gapai. Kamu ingin menjejakkan kakimu ke tempat-tempat baru, tapi tempat yang paling ingin kamu tuju adalah hatinya, pulang kepadanya, menetap selamanya di sana. Jika selamanya berarti seumur hidup, seumur hidupmu ingin kamu habiskan bersamanya. Kamu sempat bertanya padaku, apa aku terlalu muda untuk memutuskan menghabiskan sisa umurku hanya dengan satu orang. Aku menggeleng, lantas bertanya kepadamu, apa usia menjadi standar bagi seseorang yang ingin memercayakan hatinya pada seseorang.
Kini, kamu yang menggeleng lalu tersenyum.
Aku sedang merapikan hatiku agar menjadi rumah yang nyaman baginya, katamu. Aku belajar memantaskan diri agar ketika tiba waktunya, aku menjadi pasangan yang baik untuknya. Aku hafal bagian ini, pada setiap pertemuan kamu sering mengatakannya, bahkan melalui pesan singkat yang kamu kirimkan padaku. Suatu hari, katamu, saat dia terjaga dari tidurnya, aku ingin menjadi hal pertama yang dia lihat. Sejauh apa pun dia berjalan, dia akan pulang kepadaku karena aku adalah rumah yang dia tuju, muara dari segala pencarian hidupnya.
Dia hanya belum sadar aku ada, katamu lagi.
Matamu seperti matahari pagi, hangat, dan bersinar ketika membicarakan tentangnya. Terkadang seperti lampu penerangan jalan, redup namun tak padam. Bagiku, katamu, dia seperti titik terang di sebuah lorong yang gelap. Pada setitik cahaya itu kamu memercayakan hidupmu. Kamu berjalan jauh, terus melangkah, terus mengumpulkan harap agar bisa keluar dari lorong kesedihan. Terkadang ia menjelma bintang di kelam malam. Menunjukkan jalan bagimu yang terombang-ambing di tengah lautan keputusasaan.
Kau, sudahkah menjadi rumah untuk seseorang dan menemukan rumah untukmu berpulang, tanyamu kepadaku. Kadang aku mencari, lain waktu, aku menunggu. Tidak ada rumus pasti kapan tangan-tangan Tuhan mempertemukan kami. Takdir yang tak kasat mata mungkin sedang jalin-menjalin antara aku dan dia, pada satu momen, pada satu peristiwa apa saja yang tak terduga, menjadi awal pertemuanku dengannya.
Barangkali ia seseorang yang dekat denganku, namun kami belum pernah bertemu. Mungkin ia berada di luar kota dan menunggu untuk ditemukan. Bisa saja ia sedang berada di lain benua dan kepulangannya akan mempertemukan kami, kataku.
Tapi, aku akan terus mencari, sesekali menunggu, hingga tangan-tangan Tuhan mempertemukan kami.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda