di pintu:
Ada kalanya
kamu menunggu, ada kalanya aku yang menunggu, membukakan pintu, menyambut
dengan senyum. Terkadang aku sengaja membiarkan pintu terbuka karena tak sabar
menunggu kepulanganmu. kamu yang menyukai travelling dan aku yang lebih
senang menghabiskan waktu di rumah. aku tidak pernah berpikir memenjarakan mimpi-mimpimu. hubungan ini bukan teralis besi yang akan menahan langkahmu, kataku ketika
kamu bertanya masih bolehkan kamu melakukan perjalanan seorang diri ke berbagai
negara setelah kita menikah.
kamu menunggu
jawaban dengan cemas setelah melontarkan pertanyaan padaku, batasan apa saja
yang tidak boleh kulakukan setelah menikah. aku belum bisa membayangkan apa
saja batasan-batasan itu, tentu saja ada hal-hal yang tidak bisa kita lakukan,
selingkuh misalnya, jawabku. kamu tertawa mendengarnya, itu nggak akan
kulakukan, katamu.
kamu
menjelaskan dengan mengurutkan hobimu, seperti travelling, membaca buku,
menonton serial seharian, dan mencicipi banyak makanan. mengenai serial, aku
senang menonton seperti true detective dan serial lainnya. Drakor pun pernah,
Goblin, sampai tamat, kataku. Kamu memasang wajah tak percaya. Kalau serialnya
bagus, kita bisa menonton seharian di akhir pekan, kataku.
aku juga pernah
beberapa kali menonton konser, itu pun band-band indie, bukan konser besar yang
penontonnya mencapai ribuan orang. Dan aku tidak keberatan jika kamu ingin
menonton konser, aku akan ikut sesekali denganmu, kataku lagi. ekspresi wajahmu
berubah seketika mendengar kalimat terakhirku. aku tidak dapat mengartikannya. kuharap kamu
senang dengan jawabanku.
setelah
menikah, impianku membahagiakan istriku, kata temanku. kepala kosongku tak
mampu mencerna dengan baik kalimat itu. Ia mengatakan hal itu karena ingin men-sopport
istrinya yang akan melanjutkan pendidikannya. kupikir, aku punya pemikiran yang
sama dengannya.
kamu boleh
melanjutkan pendidikanmu. di mana saja. di benua manapun. aku akan mendukungmu dan
mencari cara agar bisa menemanimu di sana.
di dapur:
aku nggak
bisa masak, katamu. keahlianku cuma sebatas menjerang air, memasak mie instan,
memasak makanan sederhana. takaran kopimu pun aku nggak tahu, katamu lagi. tak
apa, kita belajar sama-sama. aku akan jadi asistenmu di dapur. kamu tak
sendiri, mencuci piring, memasak, membuatkan minuman, dan pekerjaan rumah
lainnya tak hanya dibebankan ke pundakmu seorang. seperti kataku di awal
hubungan kita, bagiku, kamu partner hidup. aku akan memijati kakimu, punggungmu,
membuatkan minuman kesukaanmu. kita akan berbagi peran, berbagi semua-semuanya
berdua.
sepertimu
yang khawatir tidak bisa menyiapkan makanan untukku, aku selalu dilanda kekhawatiran
tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup kita. aku tidak punya apa-apa. gajiku tak
seberapa. tak pernah memiliki barang-barang mewah. tak mampu memanjakanmu. ya,
aku tak suka mengada-ngada sesuatu yang tidak ada. kamu berhak memutuskan setelah
mengetahui kondisiku sebenarnya. meski kamu menerima ketika kali pertama kuceritakan
kondisiku di awal hubungan kita, kekhawatiran ini tetap saja tidak bisa dengan
mudahnya kuenyahkan dari kepalaku.
kamu
mengatakan padaku, aku menikah denganmu bukan sebagai jaminan untuk hidup
mapan. aku menikah denganmu karena aku yakin hidupku, hidupmu, hidup kita akan
berjalan lebih baik kalau kita bersama.
di kamar
mandi:
menutup
pintu kamar mandi, menjemur handuk setelah dipakai, dua hal yang seringkali
lupa kulakukan dan itu menyulut kekesalanmu. terkadang, aku sengaja
melakukannya agar kamu kesal. aku senang melihatmu memasang wajah cemburut,
berjalan ke kamar mandi, mengambil handukku, menjemurnya, menutup pintu. Lalu
ketika kamu duduk di hadapanku, bersiap menceramahiku dengan kalimat yang sudah
kuhafal di luar kepala, kuletakkan semangkuk salad buah kesukaanmu. amarahmu
redam seketika, menerbitkan senyum di bibirmu.
aku tak suka
meletakkan pakaian kotor di atas tempat tidur, selain memang sudah menjadi
kebiasaaanku sejak lama, aku tidak ingin menambah bebanmu. pun tak terbiasa
menaruh sepatu sembarangan. kamu tak perlu khawatir soal urusan mencuci pakaian
dan menjemurnya, tapi soal menyetrika, aku angkat tangan. sehelai kaus saja
butuh 15 menit bagiku untuk merapikannya.
kau ingat
ketika kali pertama aku memintamu menjadi pasanganku?
tidak ada
superior, tidak ada inferior. masing-masing dari kita harus mau berperan dalam
hubungan ini. masing-masing-masing dari kita, harus memberi ruang untuk satu
dan lainnya berperan dalam hubungan ini. aku tidak memposisikanmu lebih rendah
dariku, pun tak menempatkanmu lebih tinggi dariku. kita sejajar.
Dan aku
masih menunggu tangan-tangan Tuhan mempertemukanku denganmu. Takdir yang tak
kasat mata mungkin sedang jalin-menjalin antara aku denganmu, pada satu momen,
pada satu peristiwa apa saja yang tak terduga, menjadi awal pertemuanku
denganmu. Mungkin kamu dekat atau berada di luar kota, bisa saja kamu sedang
berada di lain benua dan kepulanganmu akan mempertemukan kita.