Surat dari Fat


Fat mengirimiku sebuah surat yang hampir seluruh isinya bernada penyesalan. Aku bodoh, tulisnya, mengawali isi suratnya. Fat merasa menjadi orang paling bodoh di dunia. Bertahun-tahun memposisikan diri sebagai rumah untuk seseorang yang  bahkan dalam setahun terakhir pun tidak pernah mengunjunginya. Dalam bentuk pesan sekalipun. Fat merasa telah ditipu harapan, meski kemudian ia mencoret kalimat itu dengan tinta merah.
Bukan harapan yang menipuku. Aku menipu diriku sendiri, koreksinya dalam surat itu.
Kadang-kadang, aku cukup berbesar hati menjadikan diriku sebagai tempat singgah, tempat pelarian pertama ketika ia tidak tahu harus menuju ke mana. Aku menyimpan sedikit kebanggan dalam diriku sambil terus berharap, suatu saat nanti, status singgah yang melekat padaku berubah menjadi pulang. Tapi, setelah tahun-tahun panjang yang kuhabiskan untuk memikirkan semuanya, aku merasa hina pada diriku sendiri. Baginya, aku tidak lebih dari tempat sampah. Meski lebih tepat jika kukatakan kakus, tapi itu membuatku semakin merasa jijik pada diriku sendiri, tulis Fat.
Pernah satu kali Fat tiba-tiba tertawa di tengah tangisnya, waktu itu ia memintaku datang karena pria yang dicintainya, yang berjanji akan menemuinya, tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Di tengah tawa dan tangisnya itu, ia berkata lirih kepadaku. Ia bukan hanya tidak datang, ia menghilang.
Fat tidak pernah meminta apalagi memaksanya datang menemuinya. Sebagian dirinya bahkan telah menerima jika pertemuan itu tidak akan terjadi. Tidak ada yang mengharuskan dia datang, tapi dia harus mengrimkan kabar jika pertemuan itu dibatalkan. Fat menceritakan kepadaku, satu-satunya alasan ia mengiyakan pertemuan itu karena ia ingin lelaki yang dicintainya hidup bahagia. Lelaki itu, kata Fat, tidak ingin membawa penyesalan ketika mati. Dan salah satu penyesalannya tidak pernah mengucapkan kata maaf secara langsung kepada Fat. Tapi, dia memilih menghilang, membawa utang penjelasan sekaligus maaf yang belum pernah diucapkannya secara langsung.
"Dia akan datang lagi. Hanya menyapa atau berbicara yang tidak ada hubungannya dengan pertemuan sebelumnya. Baginya mungkin tidak penting menjelaskan ketidakdatangannya. Toh ia merasa selalu dan pasti kuterima" lanjut Fat. 
"Sekarang kamu membencinya?"
“Kalau bisa memilih,” ujar Fat, kemudian menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya pelan, “Aku tidak ingin membencinya. Bukan karena aku masih berharap bisa hidup bersamanya, keinginan itu telah lama kukubur jauh-jauh hari. Aku hanya ingin hidup lebih tenang tanpa membenci siapa pun, termasuk membencinya. Dalam hatiku, masih ada sedikit harap agar ia hidup dengan tenang, bahagia.  
Di pengujung surat, Fat mengatakan telah menghapus jembatan yang menghubungkannya dengan lelaki itu, menghapus nomor kontaknya, mem-block akun media sosialnya, termasuk menghapus seluruh foto di telepon ganggam dan komputer jinjingnya. Kalau bisa, aku ingin lupa pernah mencintai seseorang sebegitu besarnya yang memperlakukanku dengan begitu buruk, tapi aku tidak bisa lupa. Yang kupilih adalah menambah ingatan-ingatan baru. Dengan cara apa? Aku tidak tahu. Aku hanya ingin baik-baik saja, bahagia jauh sekali untuk mencapainya. 
Ia menutup suratnya dengan mengatakan akan segera menghubungiku jika kondisinya sudah membaik. Ia ingin menarik diri dahulu. 
Aku menunggu Fat menghubungiku. Semoga ia baik-baik saja. 

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda