Gerimis


Apa jadinya hujan tanpa gerimis, bukanah hujan tetaplah hujan. Proses penguapan air laut yang ditampung oleh awan, hingga bobot air tak dapat ditampung maka jatuhlah ia ke bumi. Bukankah hujan dan gerimis mengeluarkan produk yang sama. Lalu dimana proses gerimis yang kau agung-agungkan itu? tanyamu padaku di suatu sore.
Hujan tanpa gerimis seperti musik tanpa intro, ada ritme yang hilang dan kita seperti mendengarkan sebuah alunan lagu yang tak utuh, betapa tidak nyamannya keadaan itu. Aku tidak pernah mengagung-agungkan gerimis, hanya menikmatinya. Lagi pula gerimis itu baik, dia datang untuk menandakan hujan yang lebat akan datang, kalaupun tidak, gerimis tidaklah mengahancurkan hanya butiran air kecil yang jatuh ke bumi. Itu yang kukatakan kepadamu, meski aku tahu dari guratan wajahmu kamu sama sekali tidak merasa puas atas jawabanku. Lalu kamu pergi meninggalkanku, tanpa kata dan hanya tersenyum kecil.
Terkadang aku heran, bagaimana dua anak manusia yang memiliki biner karakter dapat disatukan, dua arah yang berbeda meski tak tahu apakah memiliki tujuan yang sama. Sebuah keajaiban yang mampu membuatku bertahan dengan orang yang kupanggil robot. Aku selalu menganggapmu seperti itu dan kamu tahu itu dengan segala alasan yang amat sangat sederhana. Kamu selalu mengkalkulasi hidup, menghitungnya seolah hidup adalah soal matematika yang harus dipecahkan dengan rumus yang berbeda. Hanya ada hitam dan putih yang bersemayam di otakmu, bukankah abu-abu lebih menarik? Sebuah penggabungan yang membuyarkan dua karakter yang kuat menjadi lebih hidup.
Aku tak bisa melewatkan gerimis, tapi kita hidup dalam ruang yang membentuk kita. Ruang yang membuatku terbentuk menjadi orang tak leluasa menikmati gerimis. Meski aku bisa menentukan ruangku sendiri, itu hanya sementara, selanjutnya kita terpenjara oleh rutinitas ruang yang dibentuk secara massal. Pernahkah kita mencoba lari dan bersembunyi dalam ruang yang kita bangun sendiri, tanpa orang lain, tanpa rutinitas dan tanpa paksaaan, di dalamnya hanya ada aku dan duniaku. Sering kita melakukannya, tapi hanya sekejap karena ketika kita tersadar, alam nyata merengut dunia yang telah kita bangun.
Kamu datang dengan dua cangkir yang sama tapi tidak dengan isinya, secangkir kopi hitam dan secangkir cokelat. Kamu bukan penikmat kopi, tapi kamu mampu menyajikan segelas kopi dengan takaran yang pas, meski kamu sendiri belum pernah mencobanya.
Dua sendok kopi dan satu sendok gula, lalu diseduh dengan air yang mendidih, kan? ungkapmu kali pertama membuat kopi untukku. Otakmu terus mengingat apa yang kuinstruksikan cara membuat kopi, hari itu mulailah kamu menjadi seorang barista dadakan. Barista yang tak menyukai kopi, tak pernah mencicipi dan hanya menggunakan rumus 2X1 yang kamu tahu. Sekali lagi, kamu menunjukan bahwa menikmati sesuatu dibutuhkan rumus, dan kamu selalu bangga akan hal itu.
Kemarin kamu datang dengan dua cangkir yang sama dengan isi yang sama, tak ada yang berbeda. Cangkir yang biasanya berisikan kopi dan cokelat hangat itu ini menjelma hitam keduanya. Ada yang berbeda dengan kamu dan aku tidak tahu persis itu. Kamu mulai duduk di hadapanku, tanpa mengeluh dan tanpa berucap. Menyeruput kopi secara perlahan lalu ditengguknya pelan. Aku memang tidak pandai membaca raut wajah, tapi aku tahu kamu sedikit tersekat ketika menelannya, wajahmu sedikit memerah karena merasakan ada yang tak nyaman mengalir dalam tenggorokanmu dan mengisi lambungmu.
Gerimis turun dan kamu duduk di teras sambil mendekap kedua kakimu, aku mengambil beberapa helai pakaianku yang sedang dijemur lalu duduk di sebelahmu sambil mendekap kedua kakiku. Kamu memandang gerimis itu tajam, seolah mencari arti gerimis yang sering kamu tanyakan, tapi tidak dengan kata. Aku masih belum menemukan kata yang lewat dari bibirmu, sejak datang kamu hanya tersenyum dan memilih diam.
“Aku tidak bisa menikmati keduanya” katamu dengan nada datar.
“Menikmati apa?”
“Kamu tau itu, tapi kenapa kamu bertanya?”
“Aku nggak tau.”
“Lalu bagaimana aku bisa suka dengan segala kebiasaanmu tanpa aku pernah tau cara menikmatinya. Aku ingin mencintaimu seutuhnya, mencintai kesukaamu, menikmati kopi dan gerimis bersamamu, tapi semua datar. Aku tak pernah bisa mencintai keduanya. Tak menemukan jawaban yang kucari.”
 “Kamu nggak perlu melakukan itu. Kamu adalah kamu dengan segala yang kamu cintai dan kamu miliki. Kamu menikmati hidup dengan mengkalkulasinya, merumuskannya, hal yang tak kupahami sampai hari ini. Tapi, aku ingin kamu tetap seperti itu dan setiap kali aku tersadar dari ruang personalku, aku ingin kamu di hadapanku. Kamu dunia nyataku.
Sela jemari yang kosong mulai saling menutupi, jarak kian terhapus, tubuh kita menjadi satu dalam pelukan. Kali ini, gerimis akan menjadi berbeda bagiku. Tak perlu lagi pergi, tak perlu lagi bersembunyi ke ruang personalku, cukup kamu. Kamu.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar