“Semuanya sudah berakhir”. Hanya kalimat itu yang keluar dari
bibirmu setelah setengah jam berlalu tanpa kata. Tanganmu masih memutar-mutar
cangkir yang isinya telah berpindah ke tubuhmu. Cangkir kosong itu kini menjadi
kiblatmu, matamu tak lepas darinya. Tidak menoleh ke kanan, kiri atau belakang,
menatap ke depan tak mungkin kamu lakukan, ada aku di situ. Matamu tak akan
pernah mau menatapku, bahkan sedetik pun tidak.
Banyak hal yang membuat kita tertunduk, takut dan tak siap
menghadapi kenyataan. Kita tak ingin memulai apalagi mengakhiri. Kalau memang
diam membuat kita lebih banyak bersama, sebaiknya kita larut dalam diam. Tak
perlu lagi kata, kebersamaan adalah obat mujarab dari hubungan kita.
Tapi hidup tak stagnan pada satu dimensi, ia dinamis. Ia
mengharapkan waktu terus berjalan dan kita harus bergerak. Entah pahit atau
manis itu konsekuensi logis dari hidup. Tak ada yang manis-manis saja, tak ada
yang mudah-mudah saja. Perjalanan ini tetap harus berlanjut, kata ini harus
disambung. Entah bagaimana akhirnya, hanya tuhan yang tahu.
“Ya, sudah berakhir rupanya,” begitu saja kalimat itu meluncur
dari bibirku. Ingin aku menarik kembali kata-kata itu dan membenamkannya di
dasar laut, tapi tak mungkin, kalimat itu telah keluar dan memang sebaiknya
keluar. Tatapanku kini tertuju pada cangkir kopi, isinya telah berkurang
setengah. Mataku tak lagi memperhatikanmu, terlalu lelah menunggumu mengangkat
kepala dan tersenyum manis seperti biasa.
“Kenapa tuhan menciptakan kita berbeda-beda kalau dia hanya ingin
disembah dengan satu cara. Kenapa kita harus terjebak dengan identitas,
melabelkan tuhan dengan satu nama. Bukankah agama representasi dari keyakinan
personal, bukan sebuah keyakinan yang dipaksakan”. Suaramu meninggi, tatapanmu
nanar, ada setitik air yang merembes di sana. Matamu menyala, tak pernah
kulihat kamu semarah itu, tak pernah ketika menatapku.
Kudekap tubuhmu yang masih berdiri kaku menahan marah. “Kenapa
semua harus berakhir hanya karna perbedaan. Bukankah tuhan itu satu, lantas
mengapa jika kita berbeda”. Kalimat demi kalimat terus mengalir dari bibirmu,
suaramu tak selantang tadi, seperti berbisik, seperti angin.
“Karna itu tuhan menciptakan cinta, agar kita bisa bersama meski
kita berbeda,” bisikkku sambil membelai lembut rambutmu.
“Masukkan saja aku ke agamamu, dengan begitu kita tak perlu
mengakhiri hubungan ini”. Kalimat itu seperti silet yang menyayat-nyayat
hatiku, perih sekali mendengarnya.
“Bagaimana bisa aku percaya pada orang yang telah mengkhianati
tuhannya yang disembah dengan segenap jiwa dan raganya”, kataku sambil
merenggangkan pelukanku kepadamu. Nafasmu sudah teratur, tubuhmu sudah tak kaku
lagi, amarah itu sudah berkurang. Kamu berkata seolah kita sedang menukar
sebungkus mie instan dengan keyakinan, menggadaikan hal paling dasar untuk
sebuah cinta. Cinta itu melengkapi bukan meniadakan.
“Jadi kita kembali sendiri-sendiri,” tanyamu minta kepastian.
“Dari awal kita menjalin hubungan ini, kita sudah tahu saat-saat
seperti akan tiba. Cepat atau lambat hanya tuhan yang tahu. Jika memang harus
sekarang, memang sudah saatnya, sudah waktunya. Inilah jatah hidup kita. Kita
bisa saja menjalani semuanya tanpa harus memaksa salah satu dari kita mengikuti
agama aku atau kamu, tapi bukankah kita tak ingin menjalani hidup ini tanpa
restu dari keluarga kita. Jika kita percaya hidup ini adalah anugerah dan
setiap detik adalah hadiah, maka dua tahun bersamamu aku mengamini itu.
Bersamamu adalah anugerah dan hadiah terindah yang tuhan berikan kepadaku.
“Huh, sebaiknya sampai di sini. Tapi malam ini aku ingin
menghabiskannya bersamamu, menikmati sepotong kue kuning yang menggantung di
langit. Sepotong cahaya di hamparan pekatnya malam, terlalu pekat hingga garis
langit dan bumi tak terlihat. Aku ingin menikmatinya berdua, sampai cahaya
kemerahan datang menjemput, aku akan pergi bersamanya”.
Ritual ini sudah dimulai rupanya. Tanpa pikir panjang, aku
mengambil karpet dan selimut di kamar. Malam ini akan jadi ritual terakhir
untuk kita, rutinitas yang kerap kamu tagih jika kue kuning itu berbentuk
sabit. Kamu selalu mengkhayalkan dapat menggantung disana, memancing
bintang-bintang yang berkeliaran di langit pekat. Sinarnya yang lembut
menghangatkan tubuhmu dan menerangi kegalauan hatimu. Jika bintang jatuh, kamu
berharap dapat mengambilnya dengan jaring yang kamu siapkan di kantongmu.
Jaring yang sama, jaring yang digunakan nelayan untuk mencari ikan. Dengan
memejamkan mata kamu membuat satu harapan, harapan yang sama sejak dua tahun lalu.
Harapan agar kita selalu bersama. Begitulah ritual yang kamu maksudkan.
Beralaskan karpet dan selimut hangat kita mulai melahap kue kuning
yang tinggal sepotong itu. Udara dingin membuat tubuh kita bersentuhan, tanpa
jarak, tanpa spasi. Bahuku selalu menjadi sandaran kepalamu, sandaran paling
nyaman di dunia menurut versimu. Tangan kita saling menggenggam, tak ingin
terlepas meski hanya untuk sesaat. Walau kita tahu esok pagi genggaman ini
harus lepas. Tapi Inilah hadiah, inilah anugerah dan inilah jatah hidup kita.
0 comments:
Posting Komentar