Aku merindukan jogging pagi hari di Taman Suropati atau
sekadar duduk sore menikmati alunan musik dari berbagai komunitas yang memang
berkumpul di akhir pekan. Jika kamu bosan mendengarkan petikan gitar, kamu
hanya perlu jalan beberapa langkah untuk bisa menikmati alunan biola. Dawainya
yang digesek mampu menentramkan hati. Tapi jangan berharap selalu mulus, tidak
ada petikan yang bagus-bagus saja dan tidak ada suara biola yang mengalun indah
terusmenerus. Sesekali, kamu akan mendengarkan suaranya yang membuatmu ingin segera meninggalkannya.
Biasanya, aku menghabiskan sore hari akhir pekanku dengan
dia, seseorang yang tidak ingin aku sebut namanya. Kami tak seperti sepasang
kekasih kebanyakan yang menghabiskan waktu berdua pada sabtu malam. Sabtu malam,
waktu kami bersama teman, sahabat atau keluarga. Jadwal kami bertemu adalah
minggu pagi, atau sore sambil dudukduduk di taman ini.
Aku dan dia menjadi pelanggan tetap Mbok Ijah, penjaja kopi
keliling yang mangkal sore hari di taman ini. Hanya sore hari karna pada malam
harinya, mbok Ijah akan menjajakan kopinya ke taman menteng. Mungkin tak banyak
yang tahu siapa Mbok Ijah, bagi seorang pembeli yang terpenting adalah barang
dagangannya. Kamu tak perlu menguras
energi hanya untuk tau siapa penjualnya.
Namun hal itu tak berlaku bagi kami. Hampir setiap minggu
kami dudukduduk sore di taman ini dan setiap kali ke tempat ini, kami hanya
membeli minuman darinya. Ada semacam kesepakatan tak tertulis anatara aku dan
Mbok Ijah dan sampai hari ini pun aku tak tahu alasannya. Bahkan, dari sekian
banyak pembeli hanya kami yang memanggilnya mbok Ijah. Kami tak pernah tahu
siapa nama aslinya, tetapi mbok Ijah senang dengan panggilan itu.
Ada masa dimana aku dudukduduk sendiri di taman ini, dia
sibuk dengan pekerjaannya. Tapi masa itu membuatku lebih banyak menghabiskan waktu mengobrol dengan mbok
ijah. Mbok Ijah dengan senang hati menceritakan keluarganya, anak-anaknya yang
putus sekolah dan suaminya yang sakitsakitan tak mampu lagi mencari nafkah. Belum
lagi ibunya di kampung yang sesekali meminta kiriman uang. Sedikit banyak aku
mengetahui kisah hidupnya tetapi aku tak pernah berani untuk menanyakan nama
aslinya.
Mbok Ijah menjadi saksi hidup sepenggal kehidupanku dengan
dia. Menyaksikan bagaimana kami bertengkar lalu mesra kembali atau melihat kami
berseslisih paham dan memutuskan untuk pulang sendirisendiri. Seperti yang kubilang,
tak ada yang baikbaik saja di dunia ini. Hubunganku juga tak selalu mulus dan
seorang penjual kopi keliling sebagai saksinya.
Aku menyempatkan diri dudukduduk di taman ini kemaren sore
setelah dua tahun tak pernah menginjakkan kaki ke tempat ini. Sejak hubunganku
kandas dengannya, aku memilih untuk merantau ke luar kota. Terlalu banyak hal
yang menarikku ke masa lalu jika terusmenerus tinggal di kota ini. Tak banyak
yang berubah dari taman ini, kecuali pengunjungnya yang semakin ramai. Dan aku
tak menemukan Mbok Ijah lagi.
Aku memutuskan untuk membeli segelas kopi kepada penjual
kopi keliling yang kini menempati tempat dimana Mbok Ijah berjualan. Awal ya aku ragu menamanyakan kabar Mbok Ijah,
lagi pula aku tak tahu nama aslinya. Tetapi penjual itu terus menatapku sambil
sesekali memerhatikan foto yang ada ditangannya. Darinya, aku menerima sebuah
amplop lusuh. Di belakangnya tertera nama Mbok Ijah. Seketika aku membukanya.
Yang terhormat Mas Bedu,
Aku gelenggeleng kepala melihat awal pembuka surat itu. Seperti
surat lamaran kerja tetapi dengan tulisan yang hampir tidak bisa kubaca.
Setahun lalu, Mba Ira kesini. Saya bilang, sejak
kalian bertengkar waktu itu Mas Bedu
nggak pernah datang lagi kesini. Mba Ira Cuma kasih uang ke saya, katanya itu
uang tabuangan mas Bedu dengan Mba Ira untuk Nikah. Tetapi karena putus, uang
itu dikasih ke saya, Mas Bedu nggak mau ambil sepeser pun.
Uangnya saya pakai buat usaha kecilkecilan di kampung. Saya
mau kirim surat buat ngucapin terima kasih ke Mas Bedu tapi nggak tau
alamtanya. Jadi saya titipin ke teman saya. Sebagai pegangan, saya juga kasih
ke dia foto Mas Bedu sama Mba Ira.
Terima kasih Banyak Mas Bedu.
Aku cuma bisa tersenyum membaca surat ini. Mungkin ini
alasan kenapa aku merindukan dudukduduk sore di taman Suropati ini. Apa pun
alasannya, aku bersyukur bisa membantu Mbok Ijah. Dan terima kasih untuk Ira.
0 comments:
Posting Komentar