Pintu itu...

“Kalau saja membuang masa lalu semudah membuang sesuatu ke tong sampah. Aku ingin amnesia, memotong dan memilah-milah  kenangan mana yang ingin aku bawa dan aku tinggalkan atau menitipkannya padamu,” katamu suatu sore.

“Seandainya itu kamu lakukan, rasa sakitnya akan bertambah dua kali lipat dari sebelumnya. Karena, setiap kali patah, hati kita belajar membalut dan mengobati. Ketika kamu amnesia, kamu harus memulainya dari awal, belajar untuk kembali menyembuhkan luka dan membalut yang patah,” kataku yang tak sempat terucap. Hanya bermain-main di kepala, lalu tengelam dengan sendirinya.

Langkahmu kini terhenti di depan pintu, kamu hanya perlu satu langkah untuk benarbenar pergi. Mungkin langkahmu akan lebih ringan ke depan, karena semua kenangan kamu titipkan padaku, sesuatu yang tidak mau kamu bawa untuk masa depanmu. Buatmu, pergi adalah sebuah perjalanan baru tanpa membawa beban masa lalu.

Atau mungkin, langkahmu akan terasa lebih berat karena kamu  harus belajar semuanya dari awal. Saat kamu jenuh mencari jalan, memandang ke depan, kamu tak punya alasan untuk menengok ke belakang. Kamu tak punya acuan dari masa lalu yang kamu titipkan, sedangkan kata “titipkan” bagiku tak lebih dari membuang, karena kamu tak mungkin akan mengambilnya suatu saat nanti.

Pintu itu masih terbuka, masih sama seperti saat kamu pertama kali datang menawarkan sebuah harapan. Apa pun keputusanmu, tidak ada garansi kebahagiaan di dunia ini. Semoga kamu bahagia dengan keputusanmu, semoga kamu baikbaik saja meski dunia tidak pernah baikbaik saja.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar