aku mencari buku-buku koleksiku yang disimpan ibuku di dalam
gudang. Sejak pindah rumah setahun lalu, dan sejak aku memutuskan untuk
merantau tiga tahun lalu, ibuku menyimpan sebagian barang-barangku di gudang,
termasuk koleksi buku-bukuku yang memang tidak ada yang menyentuhnya selain
aku. Adikku lebih tertarik dengan dunia digital daripada membaca buku koleksiku
yang 90 persen novel.
Aku memakai masker, mengantisipasi debu yang akan membuat
hidungku gatal dan tak berhenti bersin-bersin jika menghirupnya. Barang-barang
seperti sepeda, sofa, bahkan jam berukuran besar dari Jepara peninggalan ayah
masih disimpan oleh ibu. Ibu sengaja menyimpannya di gudang, membiarkan jam itu
tetap berdenting di tengah rumah sama saja memanggilnya untuk terus hidup di
masa lalu, masa di mana ayah masih bersama kita. Tetapi ibu juga tak ingin
benda kesayangan suaminya dibuang, mungkin sesekali dia akan melihatnya lalu
menutup kembali pintu gudang sekaligus menutup masa lalunya.
Aku melihat tumpukan kardus di samping kanan jam tua itu. membuka sedikit bagian atasnya untuk
memastikan isinya. Ada delapan kardus
tersusun rapi berisikan koleksi bukuku sejak jaman SMA hingga kuliah. Tanpa pikir
panjang, aku mengangkatnya. Tapi gerakanku terhenti ketika ekor mataku
menangkap kaleng berbentuk bulat bekas biskuit di atas jam tua itu. Hampir saja
aku mengacuhkannya jika sepucuk surat tak menyembul keluar dari kaleng yang tak
tertutup rapat itu.
Ibu dan ayah sangat romantis ya, bahkan di usinya yang sudah
tak muda lagi masih seperti anak muda yang main surat-suratan, gumamku sambil
tersenyum. Aku kembali meletakkan kardus
dan mengambil kaleng tersebut. Melihat tumpukan surat di dalamnya, aku
memutuskan untuk membacanya dan menunda merapihkan buku. Masih ada banyak waktu
untuk menata kembali buku-bukuku, kataku dalam hati.
Aku membaca beberapa surat dalam kaleng tersebut. Surat-surat
itu seperti potongan puzzle yang jika disusun akan menjadi sebuah cerita dan
sebuah foto menjadi pelengkap dari potongan-potongan puzzle tersebut. Dengan tergesa-gesa
aku menghampiri ibu yang sedang minum teh di ruang tengah.
“Koq ibu nggak pernah cerita?” tanyaku sambil melempar
kaleng di atas meja minta penjelasan.
“Buat apa, itu kan masa lalu dan udah lewat juga. Nggak ada
yang baik dari membenci orang. Itu cuma buat kamu susah sendiri.”
“Tapi kenapa ibu sembunyiin ini dari aku sama Arya. Kenapa ibu
harus tanggung sendiri,”
“Kalau kamu nanti jadi orang tua, kamu akan ngerti bagaimana
bertahan dalam kesakitan. Saat kamu jadi orang tua, kamu gak berfikir semua
tentang kamu tapi semua tentang anakmu, keluargamu. karna itu, ibu bisa tahan sampai sekarang. Dan
terpenting, Ibu nggak mau kamu dan Arya membenci
dia, bagaimana pun dia ayahmu. “
Aku mengambil kaleng berbentuk bundar itu. Merobek-robek
surat dan selembar foto bergambar ayahku dan seorang perempuan dengan bayi
kecil di pangkuannya. Aku membakarnya di belakang rumah, agar Arya tak
mengetahuinya. Arya tak boleh ikut membenci ayah, batinku.
*Di balik pintu, Arya duduk lemas terisak mendengar
percakapanku dengan ibu.
0 comments:
Posting Komentar