Bingkai Kebahagiaan



Dia memasangkan perekat pada permukaan kardus, diulanginya sebanyak dua kali, memastikan perekat tak terbuka dan menumpahkan isi dalam kardus tersebut. Kardus kelima yang dirapikannya hari ini, kardus-kardus terakhir yang akan dibawanya pulang ke rumah orangtuanya. Sisanya, biar aku yang urus dan kirim ke rumah orangtuamu, kataku yang hanya dijawab dengan anggukan. Hanya anggukan kepala, tidak ada kata-kata.
Aku meletakkan segelas teh susu di atas meja, minuman kesukaannya. Minuman yang selalu dia minta ketika hari-harinya begitu lelah selepas bekerja. Minuman yang selalu dia minta untuk menemaninya bekerja sepanjang malam. Minuman sederhana, tetapi terasa istimewa ketika kamu yang membuatnya, katanya suatu malam. Minuman pertama yang dia pesan ketika kami berjumpa kali pertama di sebuah kedai dan kini, menjadi minuman penutup dari cerita kita.
Dia menatap lekat-lekat sebuah figura berwarna cokelat muda yang dipasang di dinding rumah kami. Foto kami berdua, berdiri di atas hamparan rumput sebuah taman kota dengan latar belakang sebuah kafe bergaya kolonia. Di foto itu, wajahnya tampak terkejut, aku mencuri kecup ketika lensa kamera pintarnya yang di-setting durasi beberapa detik mengabadikan kami. Dia memukulku pelan, lalu tertawa setelahnya.
Bagi kami, foto ini selalu istimewa, lebih istimewa dari foto pernikahan kami. Hari itu, selepas berfoto, aku memintanya menjadi pendamping hidupku. Aku tidak menyiapkan apa-apa, tidak juga cincin berkarat emas, hanya sebuah cincin yang kubeli di emperan jalan. Anggukan kepala darinya membuatku bahagia, menjadi orang paling bahagia sedunia.
Rasanya, segala ketakutan dan kekhawatiran akan masa depan lenyap seketika, berganti dengan optimistis, harapan menyembul dari dada kami. Kami tahu, jalan terjal telah menunggu kami di depan. Bukan hal mudah meyakinkan orangtua kami akan sebuah pernikahan di atas pijakan berbeda keyakinan. Namun kami tak menyerah, tidak ingin menyerah. Kami ingin berjalan bersama, seberat apapun medan yang harus ditempuh, kami memilihnya untuk melaluinya bersama.
Rumah tangga kami tak sempurna, tidak melulu hanya bahagia. Cara pandangnya, cara pandangku kerap berada di sisi berbeda. Pertengkaran kerap hadir di sana, menggoyang kapal pernikahan yang baru saja berlayar.
“JIka kita punya anak, kamu akan adzani dia?” tanyanya suatu hari.
“Mungkin, aku belum berpikir sejauh itu,” jawabku.
“hmmmm... jangan ya, aku nggak suka.”
“Iya, kamu mamanya, peranmu snagat besar, tapi mari kita ajarkan mereka untuk mengetahui ajaran agama kita. Kelak, ketika mereka tumbuh dewasa, mereka bisa memilih agama mana yang sesuai dengan keinginan mereka.”
Dan obrolan kami tentang anak, hanya sebatas obrolan yang tidak pernah terwujud. Kapal pernikahan kami karam, tidak dapat bertahan dari terjangan badai kehidupan. Kami memutuskan menyelamatkan diri dengan sekoci, menempuh bentangnya lautan, menuju daratan dengan kapal berbeda.
Kini, kami berdiri seperti dua orang asing, meski tak pernah benar-benar asing. Kami pernah membangun cerita bersama, meski akhirnya memilih untuk mengakhirinya, melanjutkan kisah hidup tanpa aku dan dia. Menjalani sisi-sisi hidup yang lain tanpa satu sama lain.
Dia meraih figura itu, menatapnya lekat-lekat. Menempelkannya ke dadanya, dipeluknya erat. “Aku yang simpan, ya,” ucapnya.
“Aku sebenarnya pengin simpan foto itu, kalau boleh.”
“Nanti aku scan dan kasih ke kamu,” katanya lagi. “Foto ini . . . membuatku mensyukuri banyak hal dalam hidup. Meski akhirnya kita berpisah, foto ini selalu mengingatkanku satu hal, kita pernah amat sangat bahagia dan aku bersyukur karenanya.”
Dia memasukkan figura itu ke dalam tasnya. Mengangkat satu kardus, memasukkan ke dalam mobil. Aku mengekorinya di belakang, membantunya membawa kardus-kardus tersebut. Teh susu telah mendingin, dibiarkan dingin tanpa disentuhnya. Barangkali, dia tidak ingin mengakhiri kisah kami dengan sesuatu yang selalu mengingatkannya akan pertemuan kami dulu.
Dia benar, segala kesedihan dan kekecewaan yang mengantarkan kami pada sebuah perpisahan, keputusan yang masih kami rutuki sampai hari ini, bisa sedikit terobati dengan sebingkai foto yang memuat kenangan indah. Pada akhirnya kita menyadari, selalu ada bahagia dalam cerita kita dan kita beryukur karenanya.



Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar