Aku
menemukan jiwa anak-anak dalam dirinya. Jiwa yang terus ia pelihara serta meski
usianya telah berada di pertengahan 20an. Bersamanya, aku tak lagi merasa
ganjil, menjadi satu-satunya manusia aneh penghuni bumi.
Ia
menerimaku dan membuatku menerima diriku seutuhnya.
Di
hadapannya, aku bisa mengenakan apa saja – jaket jeans belel yang kedodoran di
tubuh tirusku, cardigan ijo toska yang menurut teman-temanku lebih pas jika
dikenakan nenekku, rok motif bunga-bunga yang menjadi bahan candaan orang-orang
dengan mengatakan segera menyiramnya agar bunganya tak layu dan seabreg hal
aneh lainnya - tanpa takut dikomentari. Ia bahkan tak mengomentari kacamata
kesayanganku yang sebelah bingkainya direkatkan selotif.
Di pagi
buta, ia mengirimiku pesan singkat yang membangunkanku dari tidurku yang tidak
benar-benar nyenyak. “Sarapan bareng, yuk,” tulisnya dalam pesan singkat itu.
“Ngantuk,
males mandi,” balasku.
“Ya, jangan
mandi. Cepeten turun, aku tunggu di bawah.”
Aku keluar
dari kostan masih mengenakan baju tidurku, piyama bergambar kelinci dibalut
cardigan untuk menghalau dinginnya pagi, dan sendal jepit swallow. Ia tak
menunjukkan sikap risih, tak juga mengomentari, sepanjang perjalanan mencari
sarapan, ia mengamit lenganku. Menunjukkan pada dunia betapa bangganya ia
memilikiku, seseorang yang bahkan malas mencuci muka dan hanya gosok gigi pagi
itu.
Terik
matahari membuat es goyang di tanganku cepat meleleh, menetes di kausku. Tak
ada lagi uluran tangan darinya yang dengan sigap mengelapnya. Tak ada lagi
sepasang tangan yang membantuku merapikan tumpahan minuman dan makanan yang
berceceran ketika kakiku tak sengaja menyenggol meja. Aku, gadis ceroboh dan
pelupa. Ia, yang sigap membantuku dan menerimaku seutuhnya. Aku merindukan
lelaki itu.
Oh iya, es
goyang rasa cokelat ini kesukaannya.
0 comments:
Posting Komentar