pecel



Riuh rendah suara perutnya menemaninya malam itu. Kadang ia membayangkan lambungnya mengerut karena jarang diisi. Sekeras apa pun perutnya meronta, dia tak dapat memenuhinya, tak ada lagi uang yang dia miliki. Uang terakhirnya telah dia habiskan  untuk membeli makanan tadi pagi.
Di kosantnya yang berukuran dua meter persegi itu, ia menepuk-nepuk perutnya, berbisik pada dirinya sendiri. Sabar ya, perut. Jangan manja. Jangan masuk angin dulu. Malam ini dia harus bersabar, menyabarkan perutnya karena sampai esok mungkin tidak ada olahan makanan yang akan masuk lagi.
Pagi yang katanya menawarkan harapan justru memberinya rasa mual yang tak dapat dia tahan.  Tubuhnya yang terlalu lemas tak mau diajak kompromi, ia jatuh di depan pintu kamar, memuntahkan isi perutnya yang hanya cairan kuning kecokelatan. Wajahnya pias, peluh sebesar biji jagung memenuhi wajahnya.
“Pecel, Mas.”
Kehadiran suara itu membuatnya membuka matanya yang sedari tadi ia pejamkan. Ia menggeleng lemah pada sosok perempuan setengah baya di hadapannya. “Pasti belum makan toh,” kata perempuan itu sambil menyodorkan sebungkus pecel kepadanya. Ia tak berani mengambil makanan yang disodorkan perempuan itu. Ia tak mampu membayarnya. Penjual pecel itu meletakkan makanannya di lantai, lalu pergi meninggalkannya.
Air matanya jatuh satu-satu, membasahi sebungkus pecel di tangannya. Tangisnya yang pecah bukan karena merutuki nasibnya yang buruk, justru ia bersyukur, tangan-tangan kebaikan selalu datang menawarkan pertolongan. Seperti penjual pecel itu, seperti koran-koran bekas di kosan temannya yang boleh ia jual untuk makan, seperti kawannya yang berdagang nasi goreng dan memberinya makan gratis atau penjual soto yang memberinya sepiring nasi setelah membantu mencuci piring. Ia bersyukur, tanpa mereka, hidupnya mungkin tak bisa bertahan hingga hari ini.
Kedatangannya ke Jakarta hanya bermodalkan keterangan kelulusan ujian SMPTN dan beberapa lembar uang yang langsung habis membayar ongkos perjalanannya. Musholla, masjid, pelataran toko, pernah tempat singgahnya. Ia bekerja apa saja. Apa saja. Demi bisa mengumpulkan sedikit demi sedikit uang untuk membayar kuliahnya. Kadang, ia harus merelakan teman-temannya melaju ke tingkat lebih tinggi darinya, sebab ia harus mengambil cuti. Uangnya tak cukup membayar semester depan.
Dia sedikit gembira datangnya bulan Ramadhan. Bulan puasa selalu melahirkan rasa bahagia dan sedih sekaligus di hatinya. Bahagia karena masjid-masjid besar di dekat kosantnya memberikan makanan gratis untuk berbuka. Ia hafal menu-menu yang ditawarkan. Di masjid sini, ia dapat menikmati sebungkus nasi padang. Di masjid satunya, ia bisa akan dapat korma dan segelas air putih untuk berbuka, lalu setelah salat, ia akan diberikan nasi bungkus dengan lauk ikan.
Tapi kebahagiaan mendapat makanan gratis tak menghilangkan kesedihan yang terus menjalar di hatinya. Ia memikirkan rumah. Memikirkan ibunya, memikirkan adik-adiknya. Ada rindu begitu besar yang ditampungnya selama bertahun-tahun yang ingin muntahkan pada satu kali pertemuan. Tapi kantongnya berkata lain. Terlalu besar yang ongkos yang harus ia keluarkan untuk bertemu keluarganya dan ia tak punya uang.
Di penghujung Ramadhan, ia selalu mengulangi kata yang diucapkannya tahun-tahun sebelumnya: tahun depan . . . tahun depan, Bu, aku pulang.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar