“Pasar
malam tak pernah lengkap tanpa mencicipi gulali,” katamu.
Pada jejak
pertama kakimu di pasar malam itu, matamu mengedarkan pandang ke seluruh arah,
menangkap warna-warna yang segera memenuhi matamu. Ada rasa asing yang
menyergapmu; keramaian. Berdiri di tengah lautan manusia tak pernah menjadi
pilihanmu, tapi demi rindu mencipipi gulali, kamu menembus keramaian itu,
membiarkan rok motif bunga-bunga yang menggantung manis di atas mata kakimu
bergoyang halus mengikuti langkahmu.
Sejenak kamu
berhenti, membetulkan letak kacamatamu yang sedikit miring tersenggol orang-orang
yang sedang berdesakan. Jilbabmu tak karuan bentuknya akibat tertarik secara
tak sengaja saat berjalan. Kamu meringis saat kakimu yang hanya beralaskan
sendal jepit terinjak, tapi kamu tak berhenti berjalan. Kamu sering mengatakan
pada dirimu, kamu berada di barisan orang-orang kalah, terlalu mudah menyerah.
Tapi untuk hal yang sangat kamu inginkan, kamu begitu keras kepala seolah lupa
sering menempatkan dirimu sendiri di kategori orang mudah menyerah.
Matamu yang
sedari tadi mengawasi setiap tempat yang kamu lalui seketika dipenuhi binar
ketika melihat lelaki tua yang sedang memasukkan gula di sebuah mesin berbentuk
kotak yang memunculkan kapas-kapas tipis dari lubangnya. Dililitkannya kapas
itu pada sepotong kayu kecil, senyum memenuhi bibirmu tatkala melihat kapas itu
membesar, berwarna merah muda.
Kamu
berjongkok di hadapan penjual gulali itu. Tak mengindahkan tatapan orang-orang
dewasa di sekelilingmu, tak memedulikan anak-anak kecil yang tempatnya direbut
olehmu.
Lalu kamu
berjalan meninggalkan sekumpulan manusia yang menunggu giliran mendapatkan
kapas manis itu, dengan senyum mengembang seperti mengembangnya gulali yang
kini ada di tanganmu. Kamu berhenti di sebuah sudut yang tak terlalu ramai,
mengabadikan wajahmu yang tengah menggigit gulali. Kemudian berjalan, berdiri
di pagar pembatas bianglala. Menyaksikan lampu kerlap-kerlip dan wahana yang
terus berputar itu.
Pada tiap
gigitan yang menghadirkan rasa manis, satu per satu kenangan manis bermunculan.
Tentang lelaki itu. Lelaki pertama yang mengajakmu ke pasar malam, yang membuat
degup jantungmu berdetak lebih cepat, antara tegang bersisian dengannya dan
takut ketahuan orangtuamu yang melarangmu berpacaran.
Kenangan itu
terus berputar-putar di dalam kepalamu. Ada sensasi hangat ketika jemari yang
gemetar itu jatuh di punggung tanganmu. Lalu kamu biarkan jemarinya mengisi
sela-sela kosong jemarimu. Genggaman pertama dari cinta pertama.
Dan gulali
pertama yang dibiarkan menyusut, tanpa sempat dicicipi.
0 comments:
Posting Komentar