“Aku
ingin peluk. Harus peluk. Peluk yang lama,” katanya.
Ingin
rasanya mengabadikan wajahnya yang sedang cemberut atau mencubit pipinya yang chubby
itu. Tapi jika kulakukan, ia akan bertambah kesal, meski aku tahu, ia tidak
tahan berlama-lama menahan rasa kesalnya padaku. Seperti ketika ia memutuskan
sambungan telepon denganku, kemudian pesan-pesanku tak mendapat balasan.
“Marahnya
masih lama, ya?” tanyaku.
Teleponku
berdering, memunculkan namanya di layar. Tidak ada kata-kata, hanya gelak tawa
yang panjang. Kamu tuh bener-bener ya, masa ada orang marah ditanya kaya
gitu, katanya. Nahan marah itu sepaket nahan kangen dan itu bikin aku
tersiksa, katanya lagi. Tidak ada sisa-sisa marah dari nada bicaranya dan
kami berbicara hingga pagi. Bicara apa saja. Tentang apa saja.
Di ingatanku
yang sedikit memudar, ia masih memasang wajah cemberutnya setelah permintaannya
tak juga kupenuhi. Aku merasa risih memeluk seseorang di tempat umum dan memang
banyak hal yang bagi sebagian orang remeh tapi mengganggu pikiraku. Secangkir
kopi hitam dan chammomile tea yang diletakkan pramusaji di atas meja
menyelamatkanku dari kesalnya. Ia tersenyum melihat kepulan asap menguar dari
cangkir itu. Dihirupnya pelan-pelan.
Ia penyuka
teh.
Aku pernah berjanji
mengajaknya ke Laresolo, sebuah kedai yang menjual beragam macam teh dan
racikan-racikan khusus yang dibuat pemiliknya. Aku ingin ia mencicipi Fragrance
of Love, campuran dari berbagai jenis teh asli Indonesia dengan chammomile,
peppermint, kulit jeruk, dan serai. Atau kukirimkan saja nanti, sebab ia
sedang marah.
Kali ini,
marah yang panjang.
Mungkin ia
sedang memeluk boneka kesayangannya atau meminta eeyore memeluknya, sebagai
pengganti peluk yang belum kuberikan.
0 comments:
Posting Komentar