“Foya-foya
yuk, Kak,” ajak adiknya.
Aku tidak
dapat menafsirkan senyum di wajah kekasihku ketika adiknya mengajak kami
berfoya-foya. Di benakku terlintas gambaran: foya-foya itu semacam menghabiskan
waktu untuk berbelanja apa saja, sebagian perempuan selalu merasa tidak
memiliki cukup baju padahal lemarinya penuh, kata perempuanku suatu hari. Jika
dugaanku benar, aku bisa melipir ke toko buku sambil menunggu mereka berbelaja.
Tapi
dugaanku meleset ketika adiknya berhenti di sebuah restoran cepat saji yang
menyajikan ayam sebagai menu utamanya. Aku menangkap senyum kemenangan di wajah
kekasihku. Melihat wajahku yang heran, tawanya meledak. Yuk masuk,
ajaknya sambil menyikut lenganku.
Foya-foya
dalam kamus adik kekasihku: makan sepuasnya di KFC.
Urusan
memilih menu kuserahkan kepada mereka berdua. Aku bertugas mencari tempat
duduk. Kupilih kursi di luar ruangan, aku ingin menikmati suasana Jakarta sore
hari. Jakarta yang lengang, jalan-jalan kosong di akhir pekan, tidak serba
gegas seperti hari-hari biasa.
Aku tidak
dapat menebak menu apa saja yang dipesan mereka berdua, tapi membuat meja kami
penuh seketika. Tenang, dia makannya banyak kok, aku juga, kata
perempuanku seolah dapat menebak raut wajahku yang mempertanyakan siapa yang
bisa menghabiskan makanan sebanyak ini. Ia menyodorkan bagian dada ayam yang
lekas kutolak. Kupilih paha ayam sebab tak terlalu suka daging.
Di tengah
ritual foya-foya, perempuan di sampingku menatap lekat-lekat ke arah piringku,
pandangannya lalu beralih kepadaku.
“Kenapa
kulitnya nggak dipisah?” tanyanya. Aku bergeming. “Disisain buat dimakan
terakhir,” katanya lagi. Aku masih bergeming.
Apakah KFC
punya semacam cara khusus menikmati makanannya, aku tidak tahu. Apakah
memisahkan kulit ayam dan memakannya terakhir merupakan cara paling jitu
menikmati makanan ini, aku juga tidak tahu. Apa cuma aku saja yang makan tanpa
memedulikan konsep itu, bisa jadi iya. Aku melanjutkan makanku dengan menghalau
pertanyaan-pertanyaan itu dari dalam kepalaku.
Perempuanku tiba-tiba
saja menggeser tubuhnya sedikit menyamping, membuat lutut kami bertemu. Apa
lagi, batinku tanpa mengalihkan pandanganku dari piring.
“Kata orang,
kalau pasangan kita rela kasih kulit ayam KFC ke pasangannya, berarti dia
sayang banget sama pasangannya,” ujarnya, lalu kembali ke posisi duduknya
semula.
“Orang itu
bilang nggak, kalau nemenin pasangannya yang lagi PMS dan dalam sehari nangis
berkali-kali, pelukin dia yang tiba-tiba mellow, jagain dan nyuapin dia pas
lagi sakit, itu sayang banget sama pasangannya nggak?” tanyaku.
Perempuan di
sampingku menggeleng. Segaris senyum tipis terlihat di ujung bibirnya.
“Mau tambah
lagi, Kak?” tanya adiknya. Kami kompak menggeleng. Segera saja dia beranjak
dari kursi untuk memesan tambahan makanan untuknya sambil menenteng potongan
ayam yang belum dia habiskan. Pemandangan itu membuat tawa kami pecah.
Jika suatu
hari nanti adik kekasihku itu mengajakku foya-foya, dengan senang hati aku kan
menuruti permintaannya.
0 comments:
Posting Komentar