Aku menyulut rokok untuk ketiga kalinya. Kopiku masih
tersisa sedikit, cukup sekali teguk dan kandas. Smoking room di Area 51,
yang terletak di Mall Selatan Jakarta ini mulai ramai oleh pengunjung. Besok
hari libur, tentu sangat disayangkan jika pulang terlalu cepat. Banyak yang
ingin menghabiskan waktu untuk bersantai, mengobrol bersama pacar atau sahabat
bahkan sekadar melamun melepas penat setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan
serta macet yang menjadi nama belakang dari Kota Jakarta.
“Pulang yuk, Mama sakit lagi,” katamu pelan. Ada bulir kecil yang menggelantung di sudut matamu namun sebelum jatuh kamu menyekanya dengan tangan kananmu.
Lagu someday dari Nina mengalun pelan dari telpon
genggammu, menandakan panggilan masuk. Secepat mungkin kamu mengangkatnya,
berbicara dengan suara seperti berbisik. Beberapa kali kamu mengangguk,
menundukkan kepala. Sebenarnya aku agak cemas melihat ekspressi wajahmu tapi aku memutuskan untuk diam dan
memerhatikan saja sambil menghabiskan batang rokokku yang ketiga. Berakhirnya rokokku
yang ketiga berakhir pula perbincanganmu di telpon.
“Kenapa?” tanyaku dengan rasa penasaran yang tidak bisa ditahan lagi.
“Kenapa?” tanyaku dengan rasa penasaran yang tidak bisa ditahan lagi.
“Pulang yuk, Mama sakit lagi,” katamu pelan. Ada bulir kecil yang menggelantung di sudut matamu namun sebelum jatuh kamu menyekanya dengan tangan kananmu.
Aku bergegas mencabut telpon selulerku yang sedang di-charge.
Memasukkan bungkus rokok ke dalam saku celana dan menenggak habis kopi yang
memang tersisa untuk satu kali tegukan. Aku berjalan di sampingmu, menggenggam
erat tanganmu mencoba menguatkan. Sesampainya di pelataran parkir, aku
memakaikan helm untukmu.
“Nanti nganternya sampai gang rumah aja,” katamu sambil
memakai jaket.
“Kenapa gak sampai rumah aja sih, kamu kan harus buru-buru
sampai rumah. Belum siap juga kenalin aku sama keluargamu”
“Terserah kalau kamu mau marah tapi aku gak mau ribut. Mama
sakit dan kamu masih juga egois memikirkan diri kamu sendiri. Sekarang bukan
waktu yang tepat untuk membahas hal ini” katamu dengan nada meninggi.
“Aku tau ini kedengarannya egois, tapi sampai kapan Nis kita
harus backstreet terus. Sampai kapan kamu siap bilang ke keluarga kamu kalau
kamu sudah lama putus sama Randy. Gak salah kan kalo aku ingin deket sama keluarga
kamu. Nemenin mama kamu di rumah sakit. Gak salah kan kalau aku juga peduli sama
keluarga kamu.”
“Kamu mau anter aku pulang atau gak? Kalau gak, aku bisa
naik taksi. Aku gak mau kita bicara apa-apa sampai mama sembuh”
Aku menyalakkan motor, mengantarkannya pulang ke rumah, tepatnya
gang rumahnya. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat tapi sampai kapan waktu yang
tepat seperti yang selalu kamu bilang akan datang. Bahkan, setelah dua bulan
berpacaran aku masih ragu kalau Anis sudah benar-benar lepas dari bayangan
Randy. Menyedihkan memang, tapi tetap tak adil memaksakan sebuah pecakapan
dalam kondisi seperti ini.
Mungkin Anis ingin fokus pada kesembuhan mamanya atau Anis
memang belum bisa melupakan mantannya. Kemungkinan kedua terasa lebih
menyakitkan. Tapi aku percaya, yang kita butuhkan hanya proses penerimaan. Dan untuk
itu, aku menawarkan sebuah cinta setiap harinya dan kamu dapat mengambilnya
kapan saja. Kapan saja. Kapan saja. Kapan saja.
*Mungkin banyak
yang mengalaminya, mungkin juga tidak. Tetapi untuk sesuatu yang laik diperjuangkan,
dibutuhkan sebuah cinta yang besar. Dan itu harus ditawarkan setiap harinya.
Jika ada seseorang lain yang berkata pula demikian, apa yang sebaiknya dilakukan? :)
BalasHapus