Lelaki dan Payung Hitam





 Pernah kah kamu menunggu seseorang yang tidak pernah akan kembali, karena tuhan telah menjemputnya lebih dahulu daripada kamu.




Lelaki itu duduk di sebuah rumah makan khas sunda yang terletak di pinggir jalan gang rumahnya. Dia tidak sedang menyantap makanan, dia hanya duduk-duduk di luar rumah makan itu sambil memerhatikan setiap mobil yang berhenti, berdiri, menatap satu-persatu penumpang yang turun, lalu duduk kembali. Dia selalu mengenakan jaket yang sama setiap kali duduk di situ, jaket hitam bertuliskan salah satu bank ternama. Tangan kanannya menggenggam payung berwarna senada dan logo yang sama, mungkin hadiah satu paket, hadiah dari hasil menabungnya bertahun-tahun.

Lelaki itu terus duduk di sana, berdiri setiap kali ada angkutan umum berhenti, memerhatikan penumpang yang turun lalu duduk kembali. Hingga datang seseorang menjemputnya, mengajaknya pulang sambil membuka payung untuknya. Payung itu harus dibentangkan meski hujan tak lagi menitikkan bulir-bulir kecilnya ke bumi. Dia akan tetap diam dan tidak beranjak dari duduknya jika payung di tangan kanannya tak dibentangkan. Dia tak perlu rayuan, dia hanya perlu payung itu terbuka, hanya itu dan dia akan pulang.

Orang-orang di rumah makan itu sudah terbiasa dengan keberadaannya dan tak ada satu pun dari mereka merasa terganggu dengan kehadirannya. Lagi pula lelaki itu hanya duduk dan diam, tidak menggangu siapa pun termasuk pengunjung  yang ingin makan di warung itu.

Ada masa di mana lelaki itu menangis, menundukkan kepala dan bergumam. Itu saat di mana air yang ditampung oleh awan tumpah ke bumi. Mulutnya terus berkomat-kamit, mungkin sedang melapalkan doa atau sedang mengeja satu nama. Bahkan tukang parkir yang sudah cukup lama melihatnya tak tahu persis apa yang diucapkannya, dia hanya menebak-nebak kalau itu adalah doa untuk seseorang, mungkin untuk istrinya, mungkin juga untuk anaknya.

Melalui seseorang yang menjemputnya akhirnya diketahui bahwa lelaki itu menunggu istrinya. Menunggu seseorang yang tidak akan pernah kembali dalam hidupnya. Bukan karena istrinya kabur dari rumah meninggalkan dia untuk orang lain, bukan juga karena pertengkaran hebat yang membuatnya tak nyaman lagi  tinggal bersama dengan lelaki itu. Tapi karena perempuan yang ditunggunya sudah pulang lebih dahulu menghadap tuhan tiga tahun lalu.

Sore itu, hujan begitu deras. Dengan kondisi tubuh yang tidak terlalu baik, lelaki itu memutuskan untuk tak menjemput istrinya di swalayan yang sedang berbelanja. Tetapi dia memastikan untuk menjemputnya di pinggir jalan gang rumahnya. Hujan masih saja deras dan dia menumpang berteduh di rumah makan itu. Hingga adzan maghrib berkumandang, peremuan yang ditunggunya tak kunjung datang. Dia mencoba menghubunginya tetapi tak ada jawaban. Hingga sirine ambulan lewat di hadapannya, membawa tubuh istrinya yang terbujur kaku karena kecelakaan saat hendak menaiki angkutan umum di depan swalayan.

Sejak saat itu dia mengutuki dirinya, menyesali diri karena tak menjemput istrinya di swalayan.  Andai saja dia tak terlalu egois untuk memikirkan kondisi tubuhnya dan menjemput istrinya, mungkin keadaan akan jauh berbeda. Mungkin dia masih bisa berkumpul bersama sitri dan kedua anaknya. Menikmati sore sambil berkejaran dengan cucu semata wayangnya. Itu yang selalu dipikirkannya.

Hingga suatu sore dia terbangun, lalu mengenakan jaket hitam berlogo bank ternama dan payung hitam berwarna senada untuk menjemput istrinya. Sejak sore itu dia lupa bahwa istrinya telah pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya. Yang dia tahu, istrinya akan pulang belanja dari swalayan dan dia berjanji untuk menjemputnya.

Dan lelaki itu adalah ayahku, yang menunggu ibuku pulang sejak tiga tahun lalu.




Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar