“Apakah kesedihan selalu tinggal lebih lama daripada kebahagiaan Bu?”
“Apa maksudmu nak?”
“Baru kemarin kita mencicipi musim kemarau tapi hujan sudah datang lagi. Hampir setiap hari dia datang, bahkan seminggu terakhir ini tidak pernah absen,”
Hujan seperti pertanda kesedihan. Langit serupa wajah yang menumpahkan air mata, menggelontorkan butiran-butiran kecil ke bumi. Seperti hujan yang datang lebih sering daripada kemarau tahun ini, kesedihan juga menggelayut lebih lama di rumah kita. Sedangkan kebahagiaan hanya sesekali masuk melalui celah jendela, lalu pergi tertiup angin.
Aku masih ingat saat ibu menangis setelah membaca surat yang kemudian hari kutahu dari lelaki itu. Ya, aku menyebut lelaki itu, bukan ayah, karena aku tak mau menjadi anak dari lelaki pengecut [.....]
Rinduku menggigil semalam. Mengharap pelukmu yang tak kunjung datang. Kini dia telah mati kedinginan.
Aku meletakkan stoples kaca di rak kayu yang tingginya satu setengah meter. Ada beberapa stoples lainnya di sana. Aku pikir, kemarin adalah stoples terakhirku tapi nyatanya aku harus kembali menyimpan satu lagi. Aku menyimpan rindu yang mati dalam stoples itu. Melabelkan namamu di sana agar aku selalu ingat, rinduku untukmu telah mati dan kukubur dalam stoples itu.
Aku coba menyelimutinya dengan harapan. Bukan kah harapan adalah nyala dari kehidupan. Tapi harapanku tak cukup hangat untuk membuatnya terus hidup. Dia butuh kamu, sekadar memeluk dan mengecup keningnya. Dia butuh kamu, sekadar tersenyum manis sambil menyela jemarinya. Dia butuh kamu, sekadar mengatakan [.....]
“Berhentilah menarik-ulur nak, kamu memang mahir menerbangkan layanglayang dan memenangkan sebuah pertandingan. Tapi kamu pemain yang buruk soal perasaan. Berhentilah menarik-ulur, karena itu hanya akan melukai hati seseorang dan dirimu sendiri.”
[.....]
Dalam dua bulan ini sudah beberapa kali aku ke Bandung, baik untuk urusan pekerjaan maupun jalanjalan. Ada launching buku dan talkshow yang harus aku kerjakan di sana dan sekali pun tak pernah aku menghubungimu. Mungkin kamu mengetahui melalui lini masa twitter-ku. Tapi itu bukan sebuah kode untukmu. Kamu tahu, aku bukan seorang yang pandai menggunakan kodekode, aku orang yang lebih suka berterus terang meski terkadang itu menyebalkan.
Maaf Cha, telah melepasmu. Meski kata ‘melepas’ seharusnya melengkapi kata sebelumnya, yakni ‘memliliki’.
Aku sadar, menjalani sebuah hubungan tanpa label apa pun bersamamu adalah sebuah keputusan yang bodoh. Aku tahu, keputusan kita saat itu karena kita masih terluka dengan masa lalu dan tak ingin melakukan kesalahan yang sama. [.....]
Barangkali, tidak semua hal di dunia ini harus diungkapkan. Seperti mencintaimu, aku membiarkannya tumbuh dalam diam.
Aku mungkin tidak tulus mencintaimu, karnanya aku memiliki alasan. Bukankah cinta yang tulus tidak memiliki alasan, aku tidak tahu dan tidak pernah benar-benar tahu. Yang kutahu, aku suka memerhatikanmu diamdiam, melihat senyummu dan caramu tertawa.
Namun itu tak sebanding dengan melihat wajah [.....]
Aku duduk di atas lantai, mendongakkan kepala ke arahmu yang duduk di atas kursi. Aku sengaja tak mengambil kursi lagi, aku menyukai posisi ini. Posisi dimana aku bisa melihatmu dengan lebih jelas, melihat air matamu turun satusatu. Melihatmu sesekali menyeka air di sudut mata dengan punggung tanganmu. Aku menyukainya dan kamu mungkin tak pernah tahu hal itu.
“Kami putus [.....]
Sarapanku masih sama, secangkir kopi hitam dan dua batang rokok. Tidak ada playslist khusus menyambut pagi, lagu ceria tidak mampu mengubah suasana pagiku menjadi ceria. Aku masih memilih satu lagu untuk didengarkan berkali-kali, biasanya lagu mellow, lagu yang mampu membuat kopi dan dua batang rokokku terasa lebih nikmat.
Pagi ini, kepulan asap dari dua batang rokok yang kusulut secara bergantian mengantarkan ingatanku kepadamu. Iya, kamu (lagi) dan kata ‘jika’ tersemat di depannya. [.....]