“Apakah kesedihan selalu tinggal lebih lama daripada kebahagiaan Bu?”
“Apa maksudmu
nak?”
“Baru kemarin
kita mencicipi musim kemarau tapi hujan sudah datang lagi. Hampir setiap hari
dia datang, bahkan seminggu terakhir ini
tidak pernah absen,”
Hujan seperti
pertanda kesedihan. Langit serupa wajah yang menumpahkan air mata,
menggelontorkan butiran-butiran kecil ke bumi. Seperti hujan yang datang lebih
sering daripada kemarau tahun ini, kesedihan juga menggelayut lebih lama di
rumah kita. Sedangkan kebahagiaan hanya sesekali masuk melalui celah jendela,
lalu pergi tertiup angin.
Aku masih ingat
saat ibu menangis setelah membaca surat yang kemudian hari kutahu dari lelaki
itu. Ya, aku
menyebut lelaki itu, bukan ayah, karena aku tak mau menjadi anak dari lelaki
pengecut yang meninggalkan istrinya. Itu kali pertama aku melihat ibu
menggantungkan kesedihan di langit-langit
rumah kita. Setelahnya, langit-langit
rumah hanya berisikan kesedihan.
Setelah
kepergian lelaki brengsek itu, hidup kita berubah. Hidup kita seperti kotak
saran di toko-toko, isinya hanya cercaan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak
pernah bisa kita jawab selain dengan senyuman. Tetangga menggunakan fungsinya
dengan baik, menanyakan kabar lelaki itu, bergunjing tentangmu. Mereka dengan mudah menuduhmu
sebagai perempuan yang tidak becus mengurus suami dan perihal lain yang
meyakitkan hatimu.