Aku duduk di atas lantai, mendongakkan kepala ke arahmu yang
duduk di atas kursi. Aku sengaja tak mengambil kursi lagi, aku menyukai posisi
ini. Posisi dimana aku bisa melihatmu dengan lebih jelas, melihat air matamu
turun satusatu. Melihatmu sesekali menyeka air di sudut mata dengan punggung
tanganmu. Aku menyukainya dan kamu mungkin tak pernah tahu hal itu.
“Kami putus baikbaik kok”, katamu setelah menenggak habis
segelas air putih di kubikelmu. Lalu tersenyum samar, senyum basa-basi yang
seolah ingin menunjukkan kamu baikbaik saja. Lalu kamu terdiam, matamu menerang
ke langitlangit ruangan, seolah mencari jawaban yang mungkin bisa kamu temukan
disana. Aku tetap terdiam, memastikan ada kata lagi setelah –kami putus
baikbaik- itu.
Sampai detik ini, aku tak pernah mengerti ada ‘putus
baikbaik’. Buatku, keputusan seseorang untuk menyudahi sebuah hubungan karena
ada masalah di dalamnya. Dan masalah itu tidak melulu orang ketiga, penyebab
putusnya sebuah hubungan begitu kompleks dan sebagai orang yang berda di luar
lingkaran itu kerap kali menganggap mudah. Buatku, jika setelah memutuskan
untuk menyudahi sebuah hubungan dan menjadi teman baik, itu persoalan yang
berbeda. Itu adalah cara kita menerima kandasnya sebuah hubungan.
Aku lalu berdiri, pekerjaanku menuntut untuk segera
diselesaikan. Ada beberapa taklshow dan launching buku dalam
waktu dekat ini. Aku harus segera membuat perencanaan anggaran, membuat nota
kesepakatan (MOU) dan rundown acara.
Aku menatapmu lagi, memastikan kamu baikbaik saja dan yang kudapati hanya
senyuman itu. Senyuman basa-basi.
Saat hendak berbalik, tibatiba kamu menarik tanganku dan
mengatakan terima kasih sudah mau menemanimu. Aku hanya tersenyum, tidak tahu
harus mengtakan apa. Dengan lembut aku menarik tanganku dari genggamanmu,
mengusap lembut punggung tangganmu dan meninggalkanmu. Mungkin kamu butuh waktu
untuk sendiri, bisikku dalam hati, lalu pergi tanpa menoleh lagi.
0 comments:
Posting Komentar