“Apakah kesedihan selalu tinggal lebih lama daripada kebahagiaan Bu?”
“Apa maksudmu
nak?”
“Baru kemarin
kita mencicipi musim kemarau tapi hujan sudah datang lagi. Hampir setiap hari
dia datang, bahkan seminggu terakhir ini
tidak pernah absen,”
Hujan seperti
pertanda kesedihan. Langit serupa wajah yang menumpahkan air mata,
menggelontorkan butiran-butiran kecil ke bumi. Seperti hujan yang datang lebih
sering daripada kemarau tahun ini, kesedihan juga menggelayut lebih lama di
rumah kita. Sedangkan kebahagiaan hanya sesekali masuk melalui celah jendela,
lalu pergi tertiup angin.
Aku masih ingat
saat ibu menangis setelah membaca surat yang kemudian hari kutahu dari lelaki
itu. Ya, aku
menyebut lelaki itu, bukan ayah, karena aku tak mau menjadi anak dari lelaki
pengecut yang meninggalkan istrinya. Itu kali pertama aku melihat ibu
menggantungkan kesedihan di langit-langit
rumah kita. Setelahnya, langit-langit
rumah hanya berisikan kesedihan.
Setelah
kepergian lelaki brengsek itu, hidup kita berubah. Hidup kita seperti kotak
saran di toko-toko, isinya hanya cercaan dan pertanyaan-pertanyaan yang tidak
pernah bisa kita jawab selain dengan senyuman. Tetangga menggunakan fungsinya
dengan baik, menanyakan kabar lelaki itu, bergunjing tentangmu. Mereka dengan mudah menuduhmu
sebagai perempuan yang tidak becus mengurus suami dan perihal lain yang
meyakitkan hatimu.
Teman-temanku
pun tak kalah baiknya. Mereka mengolok-oloku sebagai anak pembawa sial, anak yang tidak dinginkan oleh
bapaknya. Ingin sekali aku memukulnya tapi ibu selalu
mengatakan tak baik menyimpan amarah. Aku hanya diam, bersembunyi di balik
bantal. Menangis.
Kesedihan
kembali datang, saat musim panen gagal karena terendam banjir. Ladang sepetak
milik kita, peninggalan dari kakek pun
ikut gagal. Ibu harus meminjam uang sana-sini untuk menutupi kebutuhan keluarga
dan membayar biaya sekolahku. Hingga akhirnya, harta kita satu-satunya harus
dijual demi menutupi utang yang tak kunjung ibu bayar. Dan aku kembali melihat
kesedihan menggantung di langit-langit rumah.
Juga saat aku
harus berangkat untuk melanjutkan pendidikanku di kota. Aku mendapat beasiswa dari salah satu perguruan
tinggi negeri di kota. Aku melihat kesedihan itu jatuh satu-satu dari mata ibu.
Sebenarnya aku tidak tega meninggalkan ibu sendirian. Rumah ini
terlalu sepi dihuni seorang diri. Tapi ibu memaksaku untuk pergi. “Pergilah, seraplah ilmu
sebanyak kamu mampu lalu kembali lah membawa kebahagiaan di rumah ini,” katanya sambil
menyerahkan bekal makan siang untukku di perjalanan, karena hanya itu yang mampu dia berikan.
# # #
“Pernah kamu
mendengar istilah tangis bahagia, Nak?” Kata Ibu sambil mengelus rambutku.
Sudah empat
tahun aku tak pulang dan aku rindu merebahkan kepala di pangkuannya. ”Begitu pun hujan. Hujan tak melulu soal kesedihan,
air mata yang tumpah tak selalu mengenai kepedihan, di dalamnya juga terdapat
kebahagian. Musim kemarau juga tak melulu membawa kabar bahagia. Kekeringan di mana-mana
membuat tanah retak dan gagal panen. Bukan kah musim hujan dan musim kemarau
sama-sama menyelipkan kesedihan Nak.”
Saat bapakmu
mengirim surat dari perantauannya dan mengatakan tidak akan kembali karena
telah menikahi perempuan lain, aku menangis. Serapuh itukah kesetiaan. Tetapi akhirnya
aku tersadar, ada kamu yang harus ibu jaga dan ibu besarkan. Ada kamu, sumber
kebahagiaan.
Juga, saat ibu
harus menjual satu-satunya tanah peninggalan kakekmu, ibu menangis. Bukan
karena hidup kita yang sulit tetapi karena tak bisa menjaga warisan satu-satunya
peninggalan kakekmu. Namun aku kembali tersenyum karena itu semua kulakukan untukmu nak, untuk
masa depanmu.
Saat kau melihat
aku menitikkan air mata ketika kepergianmu ke kota untuk kuliah, itu bukan air
mata kesedihan nak. Aku memang pernah menangis karena ditinggalkan oleh seseorang tetapi aku
yakin, kamu tidak akan pernah meninggalkanku. Kamu akan kembali membawa
kebahagiaan di rumah ini. Aku tak lagi menjadi wanita kesepian. Anak-anakmu
akan berlarian mengitari rumah ini dan istrimu akan menemaniku saat kau kerja.
“ Anakku, kalau
kamu melihat kesedihan menggelantung di langit-langit rumah kita, artinya kamu
tidak melihat seluruhnya. Cobalah melihat berbagai sisi, selalu ada kebahagian yang menaungi rumah
kita. Selalu ada harapan yang memberi nyala.”
0 comments:
Posting Komentar