100 Resep Masakan Nusantara


Langkahku tiba-tiba saja terhenti di depan rak buku masakan, sebuah flayer bertuliskan best seller buku 100 Resep Masakan Nusantara, menarik perhatianku. Tulisan best seller dibuat seperti tanda stempel, berbentuk bulat dengan huruf kapital, besar-besar, agar menarik perhatian. Aku menarik ingatanku ke belakang -beberapa tahun lalu saat aku mulai gemar membaca buku dan lama-lama menjadikannya semacam hobi- aku selalu melewatkan rak buku masakan. Bahkan, di bazar buku sekalipun, yang harganya menjadi sangat murah, aku tak pernah tertarik membacanya, membeli pun tak pernah.
Barangkali, ini yang dimaksudkan temanku dengan “zona merah”. Sebuah tempat yang akan menarik ingatanmu akan kenangan-kenangan masa lampau.  Zona yang membuatmu berhenti pada saat ini, lalu menelusuri waktu masa lalu. Kau membutuhkan satu hentakkan agar kembali ke dunia nyata, meski masa lalu juga sebuah kenyataan, kenyataan yang pernah kauciptakan tapi tak bisa kauubah.
“Aku belajar masak,” katanya seraya menunjukkan fotonya padaku. Dia memakai topi chef berwarna putih, apron berwarna oranye yang melidungi kaus garis-garis hitam putih agar tak  kotor. Tangan kanannya memegang pisau, tangan kirinya berada di atas talenan kayu, menekan sayuran, siap memotongnya. Dia tampak bahagia di foto itu, sangat bahagia hingga kau hanya akan melihat matanya yang segaris. Perempuan orientalku hanya akan menyisakkan segaris mata jika tertawa.
“Udah, lupain aja.” Dengan kesal, dia menarik telepon genggamnya, mematikan layarnya dan mengantonginya. Reaksi yang wajar, mengingat reaksiku yang hanya bengong degan mulut sedikit menganga. Rekasi yang lebih mirip mencela daripada ketakjuban.
“Kenapa belajar memasak? Bukan kamu banget.” Aku sedikit kaget dengan ucapanku sendiri, seharusnya, aku menyemangatinya namun kata-kata yang keluar seperti celaan.
“Ingin aja, toh tidak akan masuk penilaianmu,” jawabnya. Sedikit ketus.
Kami pernah membicarakan tentang kriteria pasangan, dia sempat khawatir karena tak bisa memasak. Kepandaiannya memasak berhenti pada level indomie. Selebihnya, memasak air untuk teh atau kopi. Tak ada yang istimewa dan tak ada yang bisa dibanggakan. Dia mulai dilanda rasa takut yang belebihan, bukankah seorang isteri harus pandai memasak agar suaminya betah di rumah, lantas bagaimana denganku yang tak bisa memasak apa pun, katanya waktu itu.
“Aku tak terlalu suka makan,” kataku. Dia sedikit menaikkan nada suaranya dan mengatakan bukan itu poinnya. Poinnya, dia ingin membuat sarapan dan makan malam lalu kami makan bersama sambil mengobrol.
Kupikir akan menyenangkan jika sepasang kekasih sesekali menghabiskan waktu bersama untuk memasak. Tapi, aku tak sedang mencari koki yang andal. Aku mencari pendamping hidup. Tak jadi soal apakah dia pandai memasak atau tidak. Kita bisa mensiasatinya dengan membeli makan di luar atau belajar memasak bersama. Urusan ini tak menjadi tanggung jawab seorang melainkan tanggung jawab bersama. Kita sepasang, tak bisa menitikberatkan tanggung jawab hanya pada seorang. Bukan seperti itu hubungan yang kubayangkan.
“Lagi promo, Mas. Beli buku ini, dapet apron warna oranye,” seorang pramuniaga menegurku, memberi hentakkan yang menarikku ke masa kini. Meninggalkan sesosok lelaki yang menyedihkan yang terkurung di masa lalu.
Aku memasukkan buku 100 Resep Masakan Nusantara ke dalam ranjang belanjaku. Aku akan menghadiahkan buku dan apron ini untuk perempuan orientalku. Entah kapan akan kuberikan. Hingga detik ini, kami tak pernah sekalipun belajar masak bersama, hingga kami berpisah dan dia menikah.
Untuk lelaki yang beruntung, kau tak butuh masakan lezat, selama ada dia di sampingmu, kau tak perlu apa pun.
Cukup dia. Hanya dia.


Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

1 komentar: