surat dan pohon kaktus



Ketika memasuki rumah, aku menemukan kertas-kertas di atas meja. Pot kaktus kecil menindih bagian kiri bawah,  sebuah upaya agar kertas tak berserakan dibawa angin. Ujung-ujung kertas itu sesekali bergerak, mengikuti irama angin yang masuk melalui jendela yang lupa ditutup. Di bawah meja, kertas-kertas yang dikepal hingga menyerupai bola, berserakan. Padahal, tempat sampah hanya berjarak dua langkah dari meja itu berdiri.
Di bagian kanan atas kertas, tertulis namaku. Dari tulisannya - tulisan rapi yang agak tipis dan sedikit menyambung di ujung kata- aku tahu, itu tulisan Dira. 
Aku pergi ke dapur, menjerang air dalam panci dan menyiapkan dua sendok kopi robusta, satu sendok arabica dan sesendoh gula dalam gelas. Surat panjang, barangkali tentang perpisahan atau tentang luka, maka dibutuhkan kopi untuk menemani membacanya. Semacam cara agar tetap terjaga, agar tak gila. 
Aku menyingkirkan pot kaktus. Mengambil kertas-kertas itu dengan perasaan yang tak keruan. Aku meletakkannya kembali, lalu mulai memasukkan satu per satu kertas yang berserakan ke dalam keranjang sampah. Aku pergi ke dapur, mengecek air yang kujerang tetapi belum juga matang. Kuputuskan mengumpulkan semua sampah dan membungnya di tempat sampah di depan rumah.
Sejujurnya, membaca surat dari seseorang yang tinggal dan hidup bersama dalam satu atap bukanlah perkara menyenangkan. Terlebih, jika kautahu, surat-surat sebelumnya berisikan hal yang tak menyenangkan. Kali pertama Dira meninggalkan surat di atas meja, dia tak kembali ke rumah kami dalam dua bulan. Dira menjenguk ibunya yang sakit, terkena cacar. Penyakit itu pun mulai mengambil jatah keluarganya dan semua terkena imbasnya. Dira mendapat jatah terakhir.
Di lain kesempatan, Orangtuanya datang menjemputnya. Dira tak kuasa menolak ajakan itu. Dira tahu, orangtuanya memintanya agar melanjutkan studinya, cara halus untuk memutuskan hubunganku dengannya. Dira meninggalan secarik kertas, aku akan kembali seminggu lagi, tulisnya dalam kertas itu. Nyatanya, dia kembali satu bulan setelahnya. Tiga minggu lebih lama dari yang dia janjikan.
Aku terus berupaya mencari cara untuk mengalihkan perhatianku dari surat ini. Sebagian diriku menyarankan untuk mencari sesuatu di luar rumah, sebagian lain, memaksaku membacanya. Pasti sesuatu yang penting, pikirku, jika tidak, tidak mungkin Dira tergesa-gesa menuliskan surat ini dan pergi dari rumah tanpa mengabariku. Aku mengambil kertas itu, membaca baris pertama di kertas itu. Suara air mendidih dari dapur membuatku kembali meletakkan kertas itu. kuletakkan gelas kopi di samping kanan dan sebuah asbak kayu di dekatnya.
Aku menyulut rokok dan mulai membaca tulisannya.
Dua baris pertama, dia bercerita tentang halaman rumah yang tak terawat. Rumput-rumput liar yang tumbuh subur, membuat rumput gajah mini rusak. Tanaman merambat yang sudah mencapai atas dinding pagar rumah, serta pohon cabe dan tomat yang telah mengering, mati karena lupa disiram. Dia memintaku merapikan itu semua seorang diri, mengingat minggu lalu kita berjanji melakukannya berdua tapi dia membatalkannya - alasannya ada bagian surat selanjutnya.
Di paragraf selanjutnya, dia menulis tentang dua ekor anak kucing yang baru lahir. Dia menemukannya di dalam kardus, dekat pagar rumah. Dia memintaku untuk merawatnya, ada kalimat memohon di dalamnya. Aku tahu kamu tak suka kucing, demi aku, rawatlah mereka, tambahnya, membuatku sedikit kesal lantaran tak suka dan tak mengerti bagaimana merawat anak kucing itu. Dira menyukai binatang tetapi tak sekalipun memeliharanya. Aku takut menangis berhari-hari bahkan berbulan-bulan jika melihat hewan peliharaanku mati, begitu katanya saat kutanya kenapa tak memelihara hewan.
Baris-baris lain dalam surat itu tak lebih menceritakan apa saja dan hal apa yang harus kulakukan untuk merawat rumah kami. Ada satu halaman khusus berisi tanggal-tanggal. Tanggal pembayaran listrik, air, iuran sampah dan segala tetek bengek lainnya. Aku merasa Dira berlebihan. Untuk apa dia repot-repot membuat catatan semacam ini. Toh, dia akan kembali dalam waktu dekat dan kami akan melakukan semuanya bersama-sama.
Aku merasa melewatkan sesuatu yang penting. Biasanya, Dira menulis dalam suratnya kapan dia akan kembali meski selalu telat dari yang dia janjikan. Kali ini, aku tak menemukan kalimat itu. Aku kembali membaca halaman pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima, tetap tak ada. di atas meja, aku melihat dua baris kalimat. Mungkin, kalimat yang dia urungkan menulisnya di  kertas.   
Aku, barangkali, seperti anak kecil yang lupa jalan pulang. Bermain-main bersamamu dan melupakan tempatku pulang. Suatu ketika, aku tersadar, ini bukan tempatku dan aku pulang.   
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

3 komentar: