luka yang itu-itu saja


Adakah yang lebih menyedihkan dari tangis dalam diam?
Kau tak melihat air mata, kau melihat luka melalui mata dan tubuh yang bergetar
Kiranya aku tak datang dan menetap di desa ini, aku tak akan mengerti hal itu. Desa ini layaknya sebuah desa biasa, yang membedakan, kamu akan takjub melihat gunung yang indah, air terjun bertingkat-tingkat dan wisatawan yang tak hentinya berdatangan. Tak perlu menunggu akhir pekan, sore hari, selepas adzan ashar atau saat matahari hendak mengenakan jaket oranyenya, kamu akan melihat segerombolan muda-mudi berjalan menuju gunung atau air terjun. Pada akhir pekan, jangan tanya berapa jumlah manusia yang memadati jalan-jalan di desa itu. tanganmu tak akan cukup menghitungnya.
Jangan membayangkan akan melihat jalan yang hancur, berlubang atau terbuat batu-batu kali yang dihancurkan. Kau akan melihat jalan yang mulus, lebih mulus dari jalan Kuningan, Jakarta yang penuh tambal-tambal. Jika kukatakan jalan ini semulus kulit bayi, rasanya aku berlebihan. Tapi, aku tak punya kosa kata yang lebih baik untuk menggambarkannya.
Warung-warung yang terbuat dari anyaman bambu berjejer rapi. Kau tak perlu takut kelaparan, kehausan atau menggigil kedinginan. Kau hanya perlu mengeluarkan sedikit uang untuk menutup rasa lapar dan hausmu. Dan, merogoh kocek sedikit dalam agar rasa gigilmu menghilang. Selimut hidup siap menghangatmu, memberimu sensasi kenikmatan yang mungkin jarang kau temukan karena terlalu sering menguras sendiri dengan tanganmu.
Pukul sepuluh malam, warung-warung itu pun tutup, menyisakkan beberapa warung yang di depannya perempuan-perempuan bercelana pendek, seolah kekurangan bahan, seolah lupa bagaimana rasa dingin yang hadir di alam pegunungan. Tak perlu memandang sinis, tak perlu mencela, kau tak tahu luka mereka. Kisah-kisah pilu yang mereka telan seorang diri. Kekecewaan yang mereka simpan rapat-rapat di bawah bantal dekil saat melayani para tamu – kamu, mungkin salah satunya.
Namun, jika kau enggan bermalam di gubuk itu, jalanlah ke sisi kanan, sedikit menurun, licin, dan tak beraspal. Kau akan takjub melihat pemandangan di depanmu, kujamin, pemandangan itu akan membuatmu menggigil. Bukan gunung yang indah, bukan bintang-bintang yang bertebaran seperti kau berada di puncak pas. Tapi, sekumpulan manusia yang tertidur hanya beralaskan tikar. Sebagian berada di dalam tenda, sebagian entah hilang tak tau rimbanya.
Di balik kemulusan jalan aspal, di balik keuntungan yang didapat, menyisakkan luka-luka yang tak pernah muncul ke permukaan. Tentang kehilangan keluarga, kehilangan tanah, kerelaan melepaskan anaknya menjadi kupu-kupu malam. Tubuh yang renta, anak-anak yang membuncit karena kelaparan dan perempuan-perempuan tua yang tak dapat melawan. Kau tak akan melihat dan mendengar tangisan. Tapi, ketika kau tatap mata mereka, kau tahu, luka dan kemarahan ada di sana. Menyala dan siap membakarmu hidup-hidup. Tak perlu takut, mereka tak kuat mengejar, mereka hanya diam dan tubuh yang bergetar.
Dan aku, masih saja memikirkan luka yang itu-itu saja, kenangan yang itu-itu saja dan perempuan yang itu-itu saja.
Lalu, mana yang lebih menyedihkan, sekelompok manusia yang berusaha melawan tetapi penuh keterbatasan atau seorang laki-laki yang menyerah pada kenangan? Kau yang memutuskan, kau yang menentukan. Aku akan diam, selayaknya manusia-manusia kalah.

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar