Rindu






Nyatanya, rindu tak pernah kering sekali pun di musim kemarau. 
Dia terus mengalir di matamu, di hatimu, di kepalamu dan di seluruh tarikan napasmu.
Anter ke papapa, katanya sambil menggoyang-goyangkan kakiku, menarik selimutku, lalu menekan hidungku. Aku gelapan seketika, sulit bernapas. Dia tertawa, aku memelotinya, dia pun lari dari kamarku. Berteriak memanggil seseorang. Mataku masih berat, mungkin baru terpejam dua jam lalu. Ingin rasanya melanjutkan tidur tapi suara perempuan tua memanggilku, menyuruhku mengantar gadis kecil itu ke papapa.
Dia selalu menyebut Alfamart dengan papapa. Sejak belum lancar berbicara hingga usianya tiga tahun dan mampu melapalkan kata dengan jelas, dia tetap menyebut Alfa dengan papapa. Sesekali, jika berbicara dengan teman, aku pun menyebut alfa dengan papapa, mengundang tanda tanya pada temanku, mengundang keheranan. Dengan cepat aku mengoreksinya tapi label papapa sudah tersemat di wajahku.
Di dalam mini market itu, dia berlari menuju rak makanan ringan. Mencari biskuit kepala panda. Jika tak menemukannya, dia akan memintaku mencarinya. Jika kosong, aku harus bergegas mengantarnya menuju mini market lain, terus begitu sampai dia menemukan biskuit kepala panda.
Sampai di rumah, aku bergegas masuk ke dalam kamar, melanjutkan tidur. Namun, belum genap detik ke-60, gadis mungil itu telah berada di kamarku. Duduk di sampingku dan meminta dibukakan bungkus biskuit kepala panda. Lempar-lempar, katanya, memintaku untuk melempar satu biskuit ke atas lalu melahapnya ketika jatuh. Pagiku, diisi dengan melempar puluhan kepala panda dan menangkapnya dengan mulut terbuka.
Suara perempuan tua memanggilnya, waktunya mandi, kata perempaun itu. Gadis kecil itu pura-pura tertidur, bersembunyi di balik selimutku. Aku mengelitikinya hingga dia berteriak, upaya pura-pura tidur pun gagal. Dengan wajah cemberut yang membuat pipi gembilnya seperti sedang memakan bakso, dia keluar kamar. Mandi.
Kupikir, setelah mandi, dia akan tidur. Bangun siang hari, makan dan bermain. Dugaanku salah. Selepas mandi, dia kembali ke kamarku. Memamerkan baju baru yang dibelikan orang tuanya semalam. Kaus berwarna merah muda bergambar kepala Hello Kitty kita yang menutupi seluruh bagian depan kaus. “Main seropotan di sekolah bunda, katanya, yang artinya, dia meminta atau memaksaku menemaninya bermain perosotan di sekolah tempat bundanya mengajar.
Aku dengan wajah menahan kantuk, mengatarnya ke sekolah. “Angkat-angkat, memintaku mengangkatnya ke atas perorosatan. Puluhan kali, hingga aku lelah. Setelah bosan, dia berpindah ke ayunan. Aku mendorongnya dengan sebelah tangan, tangan kananku bersandar pada tiang, menahan tubuhku agar tidak jatuh karen kantuk dan lapar yang menyerang. Dia pun berpindah dari satu permainan ke permainan lain.
Suara bel berbunyi, tanda istirahat. Aku hendak mengatarkannya ke bundanya dan ingin segera mencari makan.
“Aku mau pulang,” katanya, membalikkan badan, memunggungiku.
“iya, tapi ketemu bunda dulu ya,” kataku berusaha membujuknya agar bertemu bundanya.
“Aku mau pulang ke tempat yang jauh, Om. Aku nggak mau ketemu ayah dan bunda, takut mereka sedih. Nanti kita ketemu lagi ya, main lagi.” Dia membalikkan badan, menghadapku. Bajunya berubah, menjadi gaun putih. Di tangannya sebuket bunga.
Jangan pergi lagi, Om masih kangen. Om mash mau main sama Ia, namun bibirku terasa terkunci. Tidak ada kalimat yang terucap, hanya air mata yang mulai menderas membuat penglihatanku kabur.
“Nanti, kalo udah waktunya, kita kumpul lagi. Main lagi.”
Aku mengucek mataku, menyingkirkan air mata yang membuat kabur penglihatanku. Di hadapanku, hanya cahaya terang, membuat mataku tak kuasa melihatnya dan . . . membuatku terbangun dari tidurku. Dengan mata basah dan rasa kehilangan. Juga, keinginan untuk menyusulnya, bertemu dengannya.
*merindu Qarirra Naqiya (2 April 2011 – 31 Mei 2015)

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 comments:

Posting Komentar